Mohon tunggu...
Wildan Ahsani
Wildan Ahsani Mohon Tunggu... Direktur Maesa Hotel Ponorogo | Mahasiswa S2 Sosiologi Universitas Negeri Surabaya

Saya senang berdialog dengan komunitas, mengamati fenomena sosial, dan menulis refleksi dari realitas sehari-hari. Saat ini saya sedang mendalami sosiologi , CSR, dan strategi branding berbasis komunitas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

STROBO, Simbol Kuasa di Jalan Raya dan Perlwanan Digital #StopTotTotWutWut

23 September 2025   13:17 Diperbarui: 23 September 2025   13:17 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di jalan raya Indonesia, strobo bukan lagi sekadar lampu yang menyala kelap-kelip. Ia menjelma tanda kuasa, simbol privilese, dan instrumen yang memisahkan "si berhak mendahului" dengan "si harus menepi." Lampu strobo menjadi penanda hierarki sosial di ruang publik yang seharusnya netral: jalan raya.

Fenomena penggunaan strobo secara liar---dari kendaraan pribadi hingga mobil komunitas---menimbulkan keresahan kolektif. Arogansi ini bukan hanya soal teknis lalu lintas, tetapi juga representasi ketimpangan sosial. Di tengah kegelisahan itulah lahir gerakan digital dengan tagar #StopTotTotWutWut.

Dari Jalan Raya ke Ruang Digital

Gerakan #StopTotTotWutWut bermula dari keluhan warganet, tetapi dengan cepat menyebar dan viral. Media sosial menjadi arena baru bagi warga untuk melawan privilese yang mereka hadapi di jalan. Jika di dunia nyata pengendara biasa sering kali tak berdaya menghadapi kendaraan berstrobo, di ruang digital mereka menemukan panggung tandingan.

Meme, sindiran, hingga video satir menjadi senjata yang ampuh. Media sosial, menurut Manuel Castells, adalah bagian dari network society---sebuah masyarakat yang kekuasaan dan resistensinya ditentukan oleh kemampuan menguasai jaringan informasi. Dalam kasus ini, warga berhasil memanfaatkan jejaring digital untuk mengubah keresahan individual menjadi solidaritas kolektif.

Sosiologi Digital: Strobo Sebagai Simbol

Dari perspektif Erving Goffman, jalan raya adalah panggung sosial. Pengguna strobo memainkan "peran istimewa" dengan menuntut perhatian dan prioritas. Sementara itu, pengendara biasa berperan sebagai penonton yang harus menyesuaikan diri.

Namun, panggung ini berubah ketika dibawa ke dunia digital. Strobo tidak lagi dilihat sebagai tanda kehormatan, melainkan sebagai simbol arogansi. Narasi publik di media sosial menggeser makna strobo: dari lambang otoritas menjadi objek kritik dan olok-olok.

Inilah yang disebut sebagai konstruksi sosial baru---ketika masyarakat bersama-sama membentuk makna baru melalui interaksi digital. Strobo tidak lagi tunggal maknanya, melainkan diperebutkan di ruang siber.

Resistensi Simbolik dan Solidaritas Digital

Gerakan #StopTotTotWutWut dapat dibaca sebagai bentuk resistensi simbolik. Ketika masyarakat tidak punya kuasa di jalan raya, mereka membalik keadaan di ruang digital. Meme yang viral bukan sekadar lucu-lucuan, tetapi mengandung energi perlawanan.

Sosiologi digital melihat ini sebagai bukti bahwa solidaritas tidak lagi hanya terbentuk di jalan-jalan kota, melainkan juga di lini masa. Di sinilah kita melihat konsep "solidaritas digital" bekerja: individu yang sebelumnya terfragmentasi oleh kendaraan masing-masing, kini terhubung oleh narasi bersama.

Dari Hashtag ke Advokasi Sosial

Apakah gerakan ini hanya sebatas viral sesaat? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Tetapi satu hal jelas: gerakan ini telah mengubah percakapan publik. Ia menantang negara dan aparat untuk menertibkan penggunaan strobo, membuka ruang diskusi tentang etika berlalu lintas, bahkan memunculkan kampanye edukasi.

Jika konsisten, #StopTotTotWutWut bisa berkembang menjadi advokasi sosial yang nyata. Seperti yang diajarkan sosiologi gerakan sosial, setiap aksi kolektif digital punya potensi untuk mendorong perubahan regulasi.

Penutup

Fenomena #StopTotTotWutWut adalah contoh nyata bagaimana masyarakat memaknai ulang simbol sosial di era digital. Strobo yang dulu menandakan kuasa, kini menjadi tanda arogansi. Jalan raya yang dulu dianggap ruang netral, kini dipahami sebagai arena ketimpangan.

Namun, di ruang digital, masyarakat menemukan senjata baru: hashtag. Melalui hashtag, meme, dan solidaritas online, lahirlah bentuk baru perlawanan. Dari kaca mata sosiologi digital, ini adalah bukti bahwa teknologi bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena perjuangan makna dan kuasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun