Mohon tunggu...
Wildan Ahsani
Wildan Ahsani Mohon Tunggu... Direktur Maesa Hotel Ponorogo | Mahasiswa S2 Sosiologi Universitas Negeri Surabaya

Saya senang berdialog dengan komunitas, mengamati fenomena sosial, dan menulis refleksi dari realitas sehari-hari. Saat ini saya sedang mendalami sosiologi , CSR, dan strategi branding berbasis komunitas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketidakpastian Ekonomi Kreatif dalam Relasi Domestik Keluarga Seniman

6 September 2025   18:21 Diperbarui: 6 September 2025   18:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketidakpastian Ekonomi Kreatif dalam Relasi Domestik Keluarga Seniman

"Gue udah motret lebih dari 5 tahun, tapi sampai sekarang penghasilan gue masih kayak langit mendung: abu-abu dan nggak jelas kapan cerahnya."
Ungkapan itu barangkali mewakili perasaan banyak fotografer dan pekerja seni lain di negeri ini. Seni memang indah, tapi perjalanan menekuninya sering kali tidak seindah yang dibayangkan.

Seni: Kompetensi yang Mahal

Menjadi fotografer, pelukis, musisi, atau seniman lain bukanlah jalan instan. Ada modal finansial besar yang dikeluarkan untuk membeli peralatan, ada modal waktu yang panjang untuk belajar, dan ada modal sosial untuk membangun jejaring. Singkatnya, seni adalah kompetensi "mahal" yang dibangun dengan dedikasi dan pengorbanan.

Namun, ironisnya, pasar di Indonesia seringkali belum menempatkan seni sebagai sesuatu yang pantas dihargai tinggi. Banyak karya kreatif masih dipandang sebagai hobi, bukan profesi.

Pasar yang Belum Ramah pada Seniman

Secara teori, industri kreatif memiliki potensi besar untuk menopang perekonomian nasional. Pemerintah bahkan kerap menyebut ekonomi kreatif sebagai "tulang punggung" masa depan. Namun di lapangan, realitasnya timpang. Fotografer event misalnya, masih sering ditawar murah, bahkan diminta kerja gratis dengan iming-iming "buat portfolio" atau "biar dikenal banyak orang."

Ketidakpastian pasar inilah yang membuat banyak seniman merasa seperti berjalan di atas awan mendung: penuh potensi hujan, tapi jarang cerah terang.

Seniman, Keluarga, dan Tekanan Domestik

Di ruang keluarga, ketidakpastian itu punya konsekuensi serius. Istri, suami, atau anak tentu berharap ada pemasukan stabil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara pekerja seni, meski penuh passion, sering kali dicap "cuma keluyuran" atau "nggak jelas kerjanya."

Kritik domestik ini bukan sekadar soal uang, tetapi juga soal waktu. Jam kerja seniman yang fleksibel---kadang malam, kadang berhari-hari di luar rumah---sering dianggap mengurangi waktu bersama keluarga. Konflik pun muncul: passion yang penuh idealisme berhadapan dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga yang realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun