Siapa sangka, di tengah kepungan ketidakpedulian global, ada tangan kecil yang melempar botol ke laut dengan harapan besar, dan air laut menjelma menjadi utusan paling setia. Mungkin Tuhan ingin mengingatkan kita, bahwa bukan besar kecilnya bantuan yang penting, tapi ketulusan yang menggerakkan.
Maka hari ini, aku ingin bertanya:
Untuk urusan kemanusiaan, kenapa justru laut yang lebih cepat tanggap daripada negara? Kenapa ombak yang tidak pernah sekolah bisa lebih tahu arah, daripada kita yang katanya lulusan kampus ternama, tapi masih sibuk mempertanyakan siapa yang layak dibantu?
Apakah kita terlalu sibuk membangun tembok, hingga lupa bahwa yang paling dibutuhkan justru jembatan?
Di saat kita menunggu bantuan resmi, legalitas, dan konferensi pers, ada sebotol air dan sebungkus makanan yang berjalan tanpa status, tapi sampai ke tujuan.
Dan laut... tidak pernah menanyakan agama, paspor, atau warna bendera. Ia hanya menerima dan mengantar. Karena bagi laut, yang penting adalah nyawa. Bukan politik, bukan peta, bukan propaganda.
Jadi, mari kita bertanya pada diri sendiri:
apakah kita masih sanggup menjadi manusia seutuhnya--- atau justru harus belajar  dari air laut, tentang bagaimana caranya menyampaikan amanah...
tanpa banyak alasan,
tanpa banyak suara.
Jika suatu hari aku kehilangan arah,mungkin aku juga akan belajar dari laut--- ia tenang, tapi kuat. ia dalam, tapi ringan tangan. ia tidak banyak bicara, tapi tahu cara menolong.