Malam-malam di Jogja memang punya suasana yang nggak bisa dibandingin sama kota lain. Ada semacam ketenangan yang akrab tapi hidup. Apalagi kalau kamu jalan-jalan malam ke arah Kaliurang, dari sekitaran UGM, kamu bakal nemu satu hal yang jadi ciri khas Jogja banget: deretan lesehan kaki lima yang menggoda.
Jadi malam itu aku dan temanku jalan kaki dari sekitaran kampus. Awalnya cuma niat cari angin malam sambil ngobrol santai, tapi seperti biasa, jalanan Jogja dengan segala aromanya punya caranya sendiri buat bikin kita lapar. Belum ada lima menit jalan, kanan kiri mulai ramai sama suara penggorengan, aroma sate yang dibakar, dan kerumunan orang yang duduk lesehan pakai alas plastik biru.
Rasanya kayak pasar malam versi kuliner. Ada yang jualan sushi kaki lima (yes, sushi versi street food!), ada mi goreng pakai topping ngadi-ngadi kayak sosis bakar dan telur mata sapi, ada pecel lele Lamongan yang lengkap sama sambel terasi pedasnya, dan tentu aja yang nggak pernah absen: nasi goreng.
Aku dan temanku akhirnya berhenti di satu warung nasi goreng lesehan yang kelihatan ramai tapi nggak terlalu penuh. Nama gerobaknya sederhana, cuma tulisan "Nasi Goreng Seafood Spesial" di atas neon kecil yang temaram. Kami duduk lesehan di pinggir trotoar, beralaskan tikar plastik, sambil liat motor-motor lalu lalang. Suasana malam itu adem, nggak hujan, tapi anginnya cukup bikin rambut berantakan. Cocok banget buat makan nasi goreng hangat.
Kami pesan dua porsi nasi goreng seafood dan dua gelas es jeruk. Warungnya cuma dijaga oleh satu bapak paruh baya yang cekatan banget. Sekali ngangkat wajan, tangannya udah hafal gerakan. Nggak perlu liat, nggak perlu ukur---semua langsung ditakar pakai feeling. Dan itu, menurutku, adalah salah satu keahlian yang cuma dimiliki oleh tukang nasi goreng jalanan.
Sambil nunggu, aku liat sekeliling. Di sebelah kami ada pasangan muda yang lagi seru-serunya ngobrol sambil makan sate. Di seberangnya ada tiga mahasiswa yang kelihatannya lagi bahas skripsi (tapi sesekali ketawa ngakak juga). Pokoknya semua orang malam itu punya ceritanya sendiri, tapi disatukan oleh satu hal: makanan.
Ketika nasi goreng kami datang, aromanya langsung bikin perut makin meronta. Nasi gorengnya berwarna cokelat keemasan, disajikan di atas piring keramik dengan irisan timun dan kerupuk udang yang bisa refill. Topping seafood-nya nggak main-main: ada cumi, udang, dan sedikit potongan bakso ikan. Rasanya? Gila. Gurih, pedasnya pas, dan ada rasa smokey yang cuma bisa didapat dari wajan panas di pinggir jalan.
Makan nasi goreng di pinggir jalan tuh punya sensasi sendiri. Bukan cuma soal rasa, tapi soal suasana dan pengalaman. Kamu makan sambil sesekali lihat motor ngebut, sambil ngobrol ngalor-ngidul, dan sambil nikmatin angin malam yang kadang bawa bau asap knalpot. Tapi entah kenapa semua itu terasa pas. Bukan gangguan, tapi justru bagian dari kenikmatan itu sendiri.
Es jeruknya juga segar banget. Disajikan dalam gelas besar, dengan perasan jeruk asli dan es batu yang cukup banyak. Bukan jeruk sirup atau rasa-rasa buatan, tapi jeruk beneran yang asem-manisnya bikin tenggorokan sejuk setelah makan nasi goreng yang agak pedas.
Sambil makan, aku dan temanku ngobrolin banyak hal. Mulai dari dosen yang suka ngaret, drama tugas kelompok, sampai cerita-cerita lucu di kelas. Rasanya kayak semua stres hari itu luntur pelan-pelan lewat sendok demi sendok nasi goreng yang kami makan. Ada kenyamanan sederhana yang nggak bisa dijelaskan pakai kata-kata, selain kalimat: "ini tuh enak banget."