Awalnya kami tahu tempat ini dari Instagram. Fotonya simpel, tapi estetik. Mangkok ramen besar dengan kuah kental yang menggoda, potongan chashu (irisan daging), telur setengah matang yang meleleh, dan taburan daun bawang segar. Hanya dengan melihat fotonya aja, aku langsung nge-lap layar HP, padahal baru makan siang.
Kami pun berangkat sore hari, pas langit mendung-mendung manja. Lokasinya gampang dicari karena nggak jauh dari jalan besar. Begitu sampai, suasananya langsung bikin hati adem. Bangunannya minimalis, dengan dominasi kayu dan lampu temaram yang bikin hangat. Ada kursi tinggi di bar depan dapur terbuka, juga beberapa meja panjang buat ramean. Meskipun tempatnya nggak terlalu luas, tapi kesannya nyaman banget. Cocok buat nongkrong santai sambil ngobrolin hidup.
Setelah duduk, kami langsung disodori menu. Pilihannya lumayan beragam. Ada shoyu ramen, miso ramen, spicy tonkotsu ramen, dan beberapa pilihan soba serta donburi. Tapi tentu saja, kami datang ke sini buat ramen. Aku pilih spicy tonkotsu, sementara Erta ambil miso ramen. Kami juga nambah satu porsi chicken karaage buat dimakan bareng.
Nggak butuh waktu lama, ramen pesanan kami datang. Aromanya langsung menyergap hidung---gurih, harum, dan menggoda. Kuahnya kental dan pekat, dengan minyak cabai yang menggantung cantik di permukaan. Begitu kuah pertama masuk mulut, aku langsung diem. Rasanya... nendang banget! Pedasnya pas, nggak berlebihan, dan rasa kaldunya dalam, bikin nagih. Mie-nya kenyal, telur rebusnya setengah matang sempurna, dan chashu-nya empuk banget. Ini definisi comfort food yang sesungguhnya.
Erta juga kelihatan puas dengan pilihannya. "Miso-nya tuh beda, gurih tapi nggak bikin enek. Ini tuh kayak pelukan hangat di malam mendung," katanya sambil ketawa. Kami pun makan pelan-pelan sambil ngobrol. Topiknya mulai dari kuliah, dosen killer, sampai rencana skripsi (padahal masih semester dua, tapi ya gitu deh).
Yang bikin aku suka dari Gin Soba bukan cuma rasa makanannya, tapi juga suasananya. Musiknya pelan, banyak pengunjung yang datang sendiri sambil baca buku, atau berdua sambil ngobrol pelan. Nggak berisik, nggak ribet. Di situ aku ngerasa tenang, kayak semua beban kuliah mendadak mengecil.
Chicken karaage-nya juga nggak kalah enak. Kulitnya renyah, dagingnya juicy, dan disajikan dengan mayones gurih. Cocok buat cemilan sambil nunggu ramen habis dicerna. Satu porsi bisa buat berdua, tapi kayaknya lain kali harus pesan dua porsi karena rebutan mulu.
Sambil makan, aku sempat mikir, kenapa ya ramen bisa jadi makanan yang bikin orang betah? Mungkin karena dia disajikan hangat, cocok buat jadi penenang saat hari-hari terasa dingin dan berat. Atau mungkin karena makan ramen tuh butuh waktu---nggak bisa buru-buru. Jadi secara nggak langsung, dia ngajarin kita buat nikmatin hidup pelan-pelan.
Harga di Gin Soba juga menurutku masih masuk akal. Rata-rata ramen dibanderol di kisaran 35-45 ribu. Dengan porsi segitu dan rasa seenak itu, menurutku worth it banget. Apalagi buat mahasiswa yang kadang butuh "mewah dikit" tanpa bikin dompet jebol.
Setelah makan, kami masih duduk sebentar, nunggu perut agak longgar sambil ngabisin teh ocha dingin yang bisa refill. Kami ngobrol lebih banyak soal hal-hal receh: dosen yang suka typo di PPT, temen kosan yang hobi pinjam charger tapi nggak pernah balikin, sampai hal absurd kayak "kalau jadi ramen, kamu pengin kuahnya rasa apa?"