Bayangkan jika Thomas Alva Edison tidak menggunakan akalnya untuk mencari cahaya dari kegelapan, mungkin kita masih bergantung pada lampu minyak hingga hari ini.Â
Bayangkan jika Ibnu Sina tidak mengabadikan ilmu kedokterannya, mungkin dunia kesehatan tidak akan secepat ini berkembang. Kekayaan akal telah membuat manusia bisa bertahan, berkembang, dan menaklukkan tantangan zaman.
Kebodohan adalah Keadaan yang Paling Menyedihkan
Di sisi lain, kebodohan adalah musibah yang paling menyedihkan. Ia tidak hanya menjerumuskan individu, tetapi juga menghancurkan suatu bangsa.Â
Kebodohan membuat manusia mudah ditipu, diperdaya, dan diperbudak oleh hawa nafsu maupun orang lain. Kebodohan akhirnya melahirkan kemiskinan yang biasanya miskin ilmu, dan miskin harta.
Kebodohan bagaikan kegelapan. Orang yang hidup dalam kebodohan berjalan tanpa arah, mudah tersandung, bahkan bisa tersesat. Lebih dari itu, kebodohan melahirkan ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Sejarah telah mencatat bahwa bangsa yang terpuruk dalam kebodohan akan mudah dijajah. Bangsa Indonesia pernah merasakannya. Kita pernah dijajah oleh Belanda dan Jepang.
Selama lebih dari tiga abad, kita berada di bawah bayang-bayang penjajah. Salah satu penyebab utamanya adalah kebodohan yang ditanamkan oleh penjajah, dengan cara membatasi akses pendidikan bagi rakyat.Â
Hanya kalangan tertentu yang boleh mengenyam bangku sekolah, sementara rakyat jelata dibiarkan buta huruf. Saat iu banyak anak bangsa tidak sekolah, dan jumlah sarjana di Indonesia masih sangat sedikit.
Kebodohan juga bisa membuat seseorang meremehkan akhlak, menolak kebenaran, bahkan tega melakukan hal-hal yang merusak kemanusiaan. Maka, pantaslah jika Ali Bin Abi Thalib menyebut kebodohan sebagai keadaan yang paling menyedihkan.Â
Karena kebodohan bukan hanya soal tidak tahu, tetapi juga tentang tidak mau belajar dan enggan memperbaiki diri. Itulah yang dialami bangsa Indoensia sehingga kita berjuang merebut kemerdekaan.