Seorang siswa membuat tampilan website luar biasa. Tapi ketika ditanya bagaimana cara kerjanya, ia tidak bisa menjelaskan. Setelah ditelusuri, semua kode dihasilkan dari AI coding assistant.
Di sini guru perlu masuk, bukan menghukum, tapi mendidik:
"Apa yang bisa kamu pelajari dari kode ini?"
"Bisakah kamu memodifikasi satu bagian kecil?"
"Bisakah kamu menjelaskan logika dasar program ini?"
Dengan begitu, kita tidak menolak AI, tapi mengajarkannya sebagai alat bantu, bukan pengganti akal budi manusia.
Menanamkan Akal Budi di Era Akal Imitasi
Sebagai pendidik, tugas kita bukan melawan teknologi, melainkan mengarahkan penggunaannya secara bijak dan manusiawi. AI bisa menjadi teman belajar yang luar biasa, tapi hanya jika dibarengi dengan:
- Kritis dalam berpikir
- Jujur dalam berkarya
- Tulus dalam proses belajar
Penutup: Manusia Tetap Tak Tergantikan
AI bisa meniru cara manusia berbicara, menulis, bahkan berkarya. Tapi ia tak bisa meniru nurani, empati, dan kesadaran. Di sinilah letak perbedaan antara akal imitasi dan akal sejati.
Mari kita ajarkan siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tapi juga penjaga nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.
Informatika bukan hanya soal kode. Ia adalah pelajaran tentang logika, etika, dan tanggung jawab. Di tangan guru yang bijak, akal imitasi tak akan menggeser akal budi.
Salam blogger persahabatan