Hindari Rasa Iri, Pelihara Hati yang Bersyukur. Kisah Omjay kali ini tentang pesan Opa Tjipta di Kompasiana. Beliau berpesan agar kita tak pernah berhenti menulis. Itulah hal penting yang Omjay ajarkan kepada siswa SMP Labschool Jakarta.
Dalam dunia kepenulisan, tidak sedikit penulis yang akhirnya memilih diam. Bukan karena kehabisan ide, tetapi karena patah hati. Ada yang patah hati karena tulisannya tak kunjung dibaca banyak orang. Ada yang kecewa karena merasa tak dihargai, meski sudah konsisten menulis bertahun-tahun. Bahkan, ada pula yang merasa tak dianggap oleh komunitasnya sendiri.
Artikel karya TJIPTADINATA, atau yang akrab disapa Opa Tjipta, di Kompasiana berjudul "Mengapa Banyak Penulis Patah Hati dan Tidak Menulis Lagi" menjadi cermin jujur atas kondisi batin banyak penulis. Tulisan itu seolah mewakili suara hati yang tak terdengar, jeritan batin yang dipendam oleh para pejuang kata yang sedang lelah, kecewa, dan akhirnya menyerah.
Salah satu akar dari kekecewaan itu adalah rasa iri. Iri melihat tulisan orang lain viral. Iri melihat penulis baru cepat dikenal dan dihargai. Iri karena belum pernah menang lomba menulis meski sudah berkali-kali ikut. Iri karena tulisan tak pernah naik ke headline. Iri karena merasa tak dianggap dalam komunitas.
Padahal, seperti halnya hidup, dunia menulis juga memiliki takdir dan rezeki masing-masing. Tulisan yang tak dibaca hari ini, bisa saja menjadi inspirasi besar bagi seseorang di masa depan. Tulisan yang diabaikan hari ini, bisa saja menjadi warisan pemikiran yang dikenang bertahun-tahun kemudian. Kita hanya perlu sabar dan konsisten.
> "Rasa iri adalah pencuri kegembiraan," kata Theodore Roosevelt.
Maka, untuk menjaga semangat menulis, kita perlu menjaga hati dari rasa iri dan membasuhnya dengan rasa syukur.
Bersyukur Adalah Kunci Menulis yang Tulus
Hati yang bersyukur adalah kunci agar kita tetap semangat dalam menulis, apa pun yang terjadi. Menulis bukan soal viral atau tidak. Menulis bukan soal jumlah pembaca. Menulis adalah tentang menyalurkan isi hati dan pikiran, serta meninggalkan jejak kebaikan dalam bentuk tulisan.
Sebagaimana pesan bijak dari Opa Tjipta, sang penulis sepuh penuh semangat:
> "Jangan berhenti menulis hanya karena tak dibaca. Jangan lelah berkarya hanya karena tak dipuji. Menulislah karena itu panggilan hati. Tuhan yang akan mencatat, bukan algoritma."