Seorang kawan pengurus PGRI di Sumatera Utara mengirimkan gambar di atas. Biarkan Guru Mengajar dengan Tenang, Jangan Intimidasi dengan Politik. Bebaskan mereka dari beban di luar kelas. Inilah kisah Omjay atau Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd atau Guru Blogger Indonesia untuk Kompasiana.
Guru adalah pilar peradaban. Dari ruang-ruang kelas sederhana, para guru membentuk masa depan bangsa dengan ketekunan, keikhlasan, dan cinta. Tapi hari ini, ada kenyataan pahit yang diam-diam dirasakan oleh banyak guru: mereka tidak lagi sepenuhnya bebas dalam menjalankan tugasnya.
Mengapa? Karena tekanan politik kian merambah ke ruang-ruang pendidikan. Guru yang seharusnya menjadi sosok netral dan berpihak pada kebenaran, justru dipaksa "memihak" atas nama loyalitas kekuasaan. Lebih dari itu, ada juga yang mengalami intimidasi, pengucilan, bahkan mutasi hanya karena dianggap tak sejalan.
Politik Masuk Kelas? Jangan!
Saya mendengar dan membaca sendiri, ada guru yang takut mengungkapkan pendapat. Ada guru yang memilih tidak hadir dalam kegiatan-kegiatan organisasi tertentu karena khawatir "dinilai tidak loyal." Padahal, bukankah demokrasi menjamin kebebasan berserikat dan berpendapat?
> "Biarkan kami mengajar dengan tenang, tanpa harus dihantui rasa takut akan tekanan dan pengawasan berlebihan," keluh seorang guru di daerah yang enggan disebutkan namanya.
Bagi saya, ini adalah alarm keras. Ketika guru takut berpikir dan takut bersuara, maka pendidikan telah kehilangan maknanya.
Guru Bukan Alat Kekuasaan
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan profesi, hukum, dan martabat kemanusiaan. Sayangnya, dalam praktiknya, perlindungan itu belum sepenuhnya hadir, terutama saat bersinggungan dengan urusan kekuasaan.
Guru seharusnya bebas berpikir, bebas berkarya, dan bebas menyampaikan pendapatnya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan etika. Tapi sayangnya, politik sering kali menutup ruang-ruang itu.