Itu belum termasuk biaya peningkatan kompetensi, membeli buku, mengikuti seminar (yang seringkali dibiayai sendiri), dan pengeluaran insidental lainnya. Jadi ketika guru menuntut gaji Rp25 juta, itu bukan angka mengada-ada. Itu kebutuhan hidup layak, bahkan mungkin batas minimal.
Gaji yang layak tidak hanya berdampak pada kesejahteraan guru, tapi juga berdampak pada kualitas pengajaran. Guru yang sejahtera akan lebih fokus mengajar, lebih tenang membimbing siswa, dan lebih bahagia menjalankan tugasnya.
Jadi, ketika negara mampu menaikkan gaji hakim, mengapa tidak bisa untuk guru?
Sudah Saatnya Reformasi Gaji Guru Sekarang Juga
Pemerintah harus mulai melihat profesi guru secara strategis, bukan administratif. Sertifikasi, PPG, dan tunjangan yang bersyarat hanya melahirkan ketimpangan. Ada guru yang sudah mengabdi 20 tahun tapi belum mendapat TPG karena belum lulus PPG---bukan karena tidak layak, tetapi karena sistem kuota dan proses yang rumit.
Lebih baik negara menerapkan satu skema gaji tunggal untuk semua guru aktif: Rp25 juta per bulan. Tanpa syarat sertifikasi administratif yang tidak berdampak langsung ke ruang kelas.
Langkah ini bahkan akan menghemat anggaran pendidikan dari kebocoran program-program tidak substantif dan pelatihan-pelatihan seremonial.
Kata Omjay: "Kami Tak Minta Mewah, Kami Hanya Minta Setara"
Sebagai guru senior yang sudah 35 tahun mengajar, saya---Omjay---merasakan bagaimana perjuangan guru dari zaman Orde Baru hingga kini. Dulu digaji rendah, kini tetap digaji rendah. Dulu diminta loyal, kini diminta profesional, tapi tetap saja dihargai seadanya. Guru hanya dianggap pahlawan pendidikan tanpa tanda jasa.
"Kami tidak ingin dipuja seperti hakim, tidak ingin dihormati seperti jenderal. Kami hanya ingin dihargai seperti manusia profesional. Kalau hakim bisa naik gaji, guru juga bisa. Kalau negara bisa memperhatikan satu profesi, maka seharusnya bisa memperhatikan semua yang menjadi pilar bangsa."