Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pangeran Diponegoro: Ksatria dari Tegalrejo

24 Desember 2010   17:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:25 3559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul Film: Pahlawan Goa Selarong

Sutradara: Lilik Sudjio

Skenario: Sofyan Sharna

Casting: Bagong Kussudiardjo

Pemeran: Ratno Timoer, Iman Sutrisno, Kusno Sudjarwadi, Rahayu Effendi

Produksi : Tahun 1972

Pemungutan beraneka ragam pajak terhadap rakyat Yogyakarta yang dilakukan oleh para anak buah Patih Danurejo (Kusno Sudjarwadi) sungguh menyengsarakan rakyat. Penderitaan rakyat tersebut dirasakan juga oleh Pangeran Diponegoro yang sejak masa mudanya dikenal dekat dengan rakyat kecil. Melihat situasi seperti itu, hati Diponegoro tergerak untuk menghentikan aksi kesewenang-wenangan para aparat Kepatihan. Demikian adegan yang dapat dilihat pada bagian awal film Pahlawan Goa Selarong yang mengisahkan tentang perjuangan Pangeran Diponegoro (diperankan oleh Ratno Timoer).

Penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi karena Patih Danurejo memang lebih mementingkan keselamatan jabatannya dibanding mengayomi rakyat. Segala daya upaya dilakukannya dan ini termasuk menjilat Residen Belanda agar dia tidak dipecat dari jabatannya. Lama kelamaaan Pangeran Diponegoro merasa muak melihat situasi seperti ini. Secara perlahan-lahan, Diponegoro dibantu Alibasah Sentot Prawirodirjo (Iman Sutrisno) mulai menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Rakyat yang semula tunduk pada tekanan para antek Belanda di bawah pimpinan Patih Danurejo mulai dibangkitkan keberaniannya untuk melakukan perlawanan.

Pangeran Diponegoro pun mulai kehilangan kesabarannya ketika orang-orang Belanda memasang patok-patok di atas tanah leluhurnya tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Pertikaian bersenjata yang memakan korban mulai terjadi akibat pemasangan patok-patok tersebut. Akhirnya Tegalrejo yang menjadi kediaman Diponegoro setelah menyatakan diri untuk tidak lagi terlibat dalam urusan politik Keraton Yogyakarta dikepung oleh pasukan Belanda. Pesanggrahan yang diwarisi Diponegoro dari buyutnya tersebut dibakar habis oleh Belanda. Untungnya, Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya berhasil menyingkir ke wilayah perbukitan yang lebih aman.

Di Goa Selarong yang selanjutnya menjadi markas besar perlawanan Pangeran Diponegoro disusunlah rencana-rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dengan didukung oleh Sentot Prawirodirjo, Kyai Mojo dan Tumenggung Mulyosentiko, Diponegoro mulai melakukan penyerangan-penyerangan terhadap Belanda. Tumenggung Mulyosentiko yang gagah berani berhasil melumpuhkan pasukan Belanda dari Semarang yang hendak mengirim sejumlah uang ke Yogyakarta. Serangan besar-besaran pasukan Belanda terhadap pasukan Diponegoro pun berhasil diporak-porandakan dengan “Taktik Garuda Melayang” melalui penggelontoran infantri dan kavaleri yang tiba-tiba muncul dari Perbukitan Menoreh.

Kota Yogyakarta yang menjadi pusat kedudukan Belanda juga diobrak-abrik oleh “pasukan komando” Diponegoro. Perlawanan pangeran yang pada masa mudanya dikenal sebagai Raden Mas Antawirya ini benar-benar membuat Belanda kalang kabut. Segala kekuatan militer Belanda pun mesti dikerahkan untuk menumpas perjuangan Sang Pangeran.

******

Film yang diproduksi pada tahun 1972 tersebut dapat dikategorikan sebagai satu film kolosal pada jamannya. Lilik Sudjio sebagai sutradara mesti mengarahkan ratusan pemain pendukung untuk adegan pertempuran antara pasukan Diponegoro melawan Belanda. Ratno Timoer yang lebih dikenal sebagai pemeran Si Buta dari Goa Hantu juga nampak tepat merekonstruksi kewibawaan dan ketegasan Pangeran Diponegoro. Tatapan khas Ratno Timoer yang dingin dan tajam seolah menghidupkan sosok Diponegoro sebagai seorang ahli strategi tempur. Kusno Sudjarwadi yang dikenal sebagai pemain watak juga berhasil menghidupkan sosok Patih Danurejo yang korup dan licik. Meskipun demikian, sebagai suatu film yang berupaya merekonstruksi episode penting dalam sejarah Indonesia, film ini memiliki berbagai kekurangan.

Pemasangan patok-patok di atas tanah warisan leluhur Diponegoro memang merupakan satu casus belli (kasus yang melatarbelakangi perang), namun sebagaimana dijelaskan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV, perang baru terjadi setelah Belanda mengepung Tegalrejo dan membakar kediaman Diponegoro (Pusponegoro dan Notosusanto, 1992 : 230). Momentum pengepungan Tegalrejo yang penting ini tidak ditampilkan dalam film. Padahal momentum tersebut berdasarkan cerita tutur yang pernah saya dengar sungguh dramatis. Konon Diponegoro mesti membobol tembok di bagian belakang kediamannya untuk meloloskan diri dari kepungan satu peleton pasukan Belanda bersenjata lengkap. Tembok tersebut akhirnya bisa dibobol dengan bantuan terjangan kuda Sang Pangeran. Namun ada juga yang mengatakan bahwa tembok tersebut bobol akibat pukulan tangan kosong Diponegoro.

Film Pahlawan Goa Selarong (PGS) juga kurang tepat mengutip fakta sejarah tentang waktu dimulainya Perang Diponegoro yang lalu dikenal juga sebagai Perang Jawa itu. Dalam film ditampilkan satu adegan di mana Diponegoro mendeklarasikan perang pada tanggal 19 Juni 1825. Padahal perang baru mulai dilancarkan Diponegoro setelah pengepungan Tegalrejo yang terjadi pada 21 Juli 1825 (Pusponegoro dan Notosusanto, 1992 : 230).

Selain Sentot Prawirodirjo dan Kyai Mojo, tokoh-tokoh lain yang menjadi pengikut Diponegoro cukup banyak. Namun PGS hanya menampilkan Tumenggung Mulyosentiko sebagai tokoh penting selain Sentot dan Kyai Mojo yang mendukung Diponegoro. Padahal terdapat tokoh-tokoh lain yang memiliki posisi tinggi dalam pasukan Diponegoro, yakni Alibasah Kerto Pengalasan, Alibasah Muhammad Ngusman, Basah Gondokusumo, Basah Mertonegoro dan Basah Ngabdul Latip (Pusponegoro dan Notosusanto, 1992 : 233). Alibasah dan Basah merupakan dua golongan kepangkatan tertinggi dalam pasukan Diponegoro.

Satu kekurangan mencolok dalam film ini adalah penggambaran tentang pasukan Diponegoro. PGS menampilkan pasukan Diponegoro sebagai tentararakyat yang terorganisir secara sederhana dan tidak berseragam. Padahal pihak Belanda sendiri mencatat bagaimana pasukan Diponegoro sangat terorganisir dan ditandai dengan warna seragam serta kelengkapannya yang berbeda-beda (Pusponegoro dan Notosusanto, 1992 : 233). Pasukan Burkiyo, Borjomuah dan Turkiyo berseragam jaket biru dengan ikat kepala putih. Pasukan Harkiyo berjaket biru dengan ikat kepala hijau. Pasukan Pinilih berkostum jaket merah dengan ikat kepala hitam bergaris putih. Selain itu, pasukan Surotandang dan Jayengan dengan penutup kepala merah dan jaket putih. Secara umum, Diponegoro juga membagi wilayah peperangan yang masing-masing terdiri dari sekitar seribu orang anggota yang sebagian besar bersenjata api. Sedangkan PGS menampilkan pasukan Diponegoro yang sebagian besar bersenjata seadanya.

Selain itu, terdapat satu keunikan dalam Perang Diponegoro yang sebenarya menarik untuk divisualisasikan. Keunikan ini berkaitan dengan adu taktik antara Diponegoro melawan Belanda. Diponegoro melancarkan taktik perang gerilya dengan memanfaatkan bentang alam serta kerimbunan hutan Yogyakarta dan sekitarnya. Di pihak lain, Belanda pada awalnya melancarkan taktik perang linier konvensional dan selalu kedodoran ketika mendapat serangan mendadak sebagaimana ditampilkan dalam PGS ketika pasukan Mulyosentiko melakukan penyergapan. Akhirnya, Belanda melancarkan stelsel benteng untuk melawan gerilya pasukan Diponegoro. Stelsel benteng (fortress system) dilakukan Belanda dengan mendirikan pos-pos militer kecil bersenjata lengkap dan diperkuat dengan perbentengan. Taktik semacam itu membawa dampak pada penyempitan ruang gerak pasukan Diponegoro sekaligus memutus jalur komunikasi, kendali komando dan garis logistik. Namun PGS yang berdurasi kurang lebih 100 menit ternyata belum benar-benar menampilkan adu taktik stelsel benteng Belanda vs taktik gerilya Diponegoro itu. Padahal aspek adu taktik ini turut membuat Perang Diponegoro menjadi berlarut-larut hingga lima tahun (1825-1830) serta menggerogoti keuangan pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Leonard du Bus de Gisignies.

Secara umum, film Pahlawan Goa Selarong sebenarnya patut ditonton untuk menciptakan pemahaman dasar tentang sejarah perjuangan bangsa. Saya pertama kali menonton film ini kira-kira pada tahun 1980 ketika masih duduk di bangku sekolah dasar bersama guru dan kawan-kawan satu sekolah. Tiga puluh tahun kemudian saya kembali menonton film ini setelah mendapatkan keping VCD nya di sebuah toko dan masih bisa menikmati film ini sebagai suatu film berlatar belakang sejarah. Namun alangkah baiknya jika film semacam ini diproduksi kembali (remake) sebagai suatu media pembelajaran sejarah yang bisa dinikmati lintas generasi. Dengan didukung oleh teknologi perfileman yang ada sekarang, perjuangan Diponegoroakan bisa divisualisasikanlebih menakjubkan dibanding 38 tahun lalu. Tentu saja produksi film seperti ini mesti didukung oleh suatu riset sejarah yang tepat agar tidak menciptakan pemahaman yang salah terhadap sejarah.

Mungkin kita mesti menunggu waktu lumayan lama agar film-film sejarah semacam ini dibuat lagi. Apalagi saat ini yang lebih laku ternyata malah film-film tentang interaksi antara manusia dan makhluk-makhluk gaib. Saya khawatir jangan-jangan nanti malah Mel Gibson yang memproduksi sekaligus menyutradarai film tentang Diponegoro karena dia dikenal piawai menyutradarai film-film berlatar belakang sejarah. Kalau sudah begitu, apakah para sutradara Indonesia tidak malu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun