Jika SSP dibangun dengan megah, tentu akan mengintimidasi mereka sebagai petani yang terbiasa hidup sederhana dan dekat dengan alam. Sebab tugas utama seorang petani adalah merawat alam.Â
SPIRITUALISME PERTANIAN
Pertama kali aku mendengar tentang konsep Spiritualisme Pertanian ini ketika berkunjung ke Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, Garut, Jawa Barat. Saat itu, teh Nissa Wargadipura sebagai pemimpin pesantren yang tengah memberikan tur keliling pesantren kepada pengunjung mengatakan bahwa bumi ini hidup dan segala sesuatu yang ada di dalam tanah juga hidup.Â
Karena manusia merupakan bagian dari kehidupan bumi, maka manusia harus memperlakukan makhluk hidup di dalam tanah dengan baik agar ia memberikan kehidupan kepada benih-benih yang kita tanam didalamnya.Â
Salah satu cara menjaga kehidupan di dalam tanah adalah dengan tidak memberinya pupuk kimia dalam proses bertani.Â
Senada dengan teh Nissa, rupanya Helianti Hilman juga mendapat pemahaman itu dari para petani di Indonesia selama proses keliling Indonesia dalam kurun waktu 3.5 bulan. Para petani ternyata memahami bahwa kondisi psikologisnya memberi pengaruh signifikan kepada tanaman di kebun atau sawah mereka.Â
Misalnya, Helianti pernah menjumpai seorang petani padi yang memutuskan tidak jadi ke sawah ketika ia merasa tidak mood atau kondisi pikirannya sedang ruwet karena menurutnya akan berpengaruh buruk pada perkembangan padi yang ia tanam.Â
Hal lain yang tak kalah menyejukkan hati mengenai konsep spiritualitas pertanian ini aku peroleh sari seorang petani organik di Ubud, Bali. Petani bernama Hartono Lokodjoyo yang mengurus lahan pertanian kurang dari 1 ha tersebut mengatakan bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang membuatnya bahagia. Oleh karena itu, saat mengurus lahannya ia selalu mendengarkan musik campursari dari ponselnya.Â
Namun, yang kini menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mereka yang telah tersambung jiwanya dengan alam semesta melalui pertanian mampu mewariskan nilai-nilai luhur itu kepada para petani muda?Â
Sejumlah petani muda yang kini sedang belajar menjadi rural foodpreneurs di Sekolah Seniman Pangan bukan jawaban bagi kompleksnya masalah regenerasi petani muda di Indonesia.