Kerja-kerja Helianti Hilman bersama para mitra di seluruh Indonesia belumlah cukup. Sebab tantangan yang kini dihadapi bukan soal kelangkaan pangan, melainkan menurunnya jumlah petani Indonesia karena generasi muda enggan menjadi petani.Â
Ya, di zaman Revolusi Industri 4.0 yang bahkan segera menuju Society 5.0 ini terdapat begitu banyak peluang bagi generasi muda dan terpelajar untuk bekerja di berbagai bidang berbasis teknologi.Â
Banyak pekerjaan baru yang menjanjikan sehingga menjadi petani bukan lagi merupakan opsi terbaik pekerjaan abad ini. Terlebih jika pada generasi muda ini tidak memiliki lahan pertanian atau tidak diwariskan lahan serta pengetahuan pertanian dari orangtua mereka.Â
Guna menjawab tantangan tersebut, maka Javara Indonesia mendirikan Sekolah Seniman Pangan atau Javara Academy. Sekolah yang gratis ini memiliki konsep unik, di mana para petani muda yang menjadi siswanya tidak perlu membayar uang sekolah, melainkan membayarnya dengan hasil penjualan produk yang mereka hasilnya selama belajar di sekolah dengan skema bagi hasil. Keren kan?Â
Saat menghadiri Green Festival pada 31 Januari 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), aku bertemu dengan beberapa orang murid Sekolah Seniman Pangan. Dengan ramah dan sumringah, mereka melayani para pengunjung yang bertanya mengenai produk yang mereka hasilkan selama menjadi siswa Sekolah Seniman Pangan. Dengan penuh kebanggaan, mereka menerangkan produk yang mereka hasilkan.
"Wah, ini sambal apa? Namanya aneh!" kataku penasaran, sembari menunjuk sebuah botol sambal bertuliskan Koro Gadalai Sauce yang lumayan unik di mataku.
"Oh, itu punya Nando, Kakak," ujar seorang gadis berjilbab hitam yang juga merupakan siswa SSP dari Sumatera Selatan. Lalu ia memanggil Nando, lelaki muda berparas dan berperawakan khas Indonesia Timur yang sedang sibuk merapikan produk-produk SSP dan Javara yang dipajang di stand. Diantaranta toples berisi cabai rawit kering seperti yang terlihat dalam foto diatas.Â
Aku bersalaman dengan lelaki muda itu dan bertanya lebih jauh tentang sambal karyanya. Rupanya sambal bernama khas itu produk karya Nando Watu, siswa SSP asal Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur yang juga merupakan pendiri Remaja Mandiri Community (RMC) Detusoko. Nando sudah sukses memasarkan produknya dengan namanya sendiri, serta produk yang dikelola bersama rekan-rekannya di RMC Detusoko.Â
Nando juga bertanggung jawab atas Sekolah Seniman Pangan di Ende, Flores yang para siswanya mengelola sebuah kafe yang menjual kopi khas Flores kepada para wisatawan yang banyak berkunjung ke daerah tersebut.Â
Ternyata, Nando Watu ini bukan pemuda petani sembarangan. Dalam sesi diskusi dalam Green Festival, dia didapuk sebagai salah satu narasumber. Kepada para hadirin yang berjumlah ribuan ia berkisah bahwa meski ia telah mencicipi pengalaman pendidikan hingga ke Amerika, Ia memilih kembali ke Flores demi mengembangkan desanya dan membuat produk-produk pertanian asal Flores mendunia.Â