Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bertani Asyik Tanpa Takut Kulit Bersisik

9 November 2018   20:08 Diperbarui: 10 November 2018   01:16 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku saat memanen tomat di belakang dapur pesantren. Foto: Budi

Di zaman "Internet of Things" ini masihkah ada warga dunia yang bercita-cita menjadi petani?

Pertanyaan ini seringkali menyapa pikiran manakala membaca perkembangan dunia yang semakin melek teknologi. Manusia abad ini telah sampai pada posisi yang tidak terlalu sulit menghasilkan uang jika mampu menguasai teknologi. Menjadi endorser di Instagram hingga Youtuber membuat generasi muda mampu melampaui pencapaian generasi pendahulunya dalam hal finansial tanpa perlu berusah payah mengelola kebun atau sawah warisan orangtuanya.

Sebab, jika uang merupakan alasan utama manusia bekerja melalui berbagai profesi, maka abad ini dimenangkan oleh mereka yang menguasasi teknologi. Peradaban modern memberikan kita begitu banyak pilihan dan kesempatan untuk sukses, sebuah posisi yang dikejar seluruh manusia sejak mereka mengenal uang.

Nah, jika peradaban masa kini telah membawa kita pada cara pandang berbeda tentang profesi dan finansial, lantas bagaimana nasib profesi lainnya yang cenderung memiliki pola pikir tradisional seperti petani? Akankah pada suatu hari nanti profesi petani benar-benar mengalami penurunan dalam jumlah signifikan bahkan musnah? Jika hal demikian terjadi, siapakan yang akan memberi makan warga dunia?

***

Aku lahir dari keluarga dan tumbuh di lingkungan petani. Masa kecilku dipenuhi oleh kenangan tentang wangi getah rerumputan yang dibersihkan dari sela-sela batang kopi, areal persawahan yang menguning dan aliran sungai yang meliuk jika dilihat dari perbuktian.

Senang pula kunikmati burung-burung yang berterbangan memenuhi langit, kerbau yang berkubang nyaris sepanjang hari, gonggongan anjing yang menyertai tuannya saat berangkat ke dan pulang dari kebun, gemeretak kayu terbakar yang berubah menjadi arang dan abu untuk membakar singkong atau talas.

Belasan tahun silam, aku merasa sangat bahagia sebagai anak petani. Biasanya saat libur sekolah aku akan menyertai orangtuaku ke kebun kopi kami yang berjarak 7 km dari kampung yang biasa kami tempuh dengan berjalan kaki. Kebun itu terletak di badan gunung sebuah hutan lindung yang sosoknya terlihat menjulang lagi jumawa dari halaman rumah kami.

Pada saat musim hujan, aneka jamur akan bermunculan. Aku sangat suka memanen jamur kuping dan memasaknya untuk makan siang dengan aneka sayuran yang dipetik di areal kebun seperti pucuk labu siam, cempokak, leunca, terong, dan kecipir. Memetik jamur di musim hujan merupakan kenangan terindahku sebagai anak petani.

Jamur Kuping, bahan pangan yang membuatku bahagia sebagai anak petani. Foto: Shutterlock
Jamur Kuping, bahan pangan yang membuatku bahagia sebagai anak petani. Foto: Shutterlock
Sepertinya, kenangan itu menggambarkan bahwa kehidupan petani begitu filosofis, makmur, bersahabat dengan alam, berkecukupan dan bahagia. Orang-orang kota sering bilang bahwa orang desa alias si petani hidupnya begitu nyaman dengan anugarah alam yang murni.

Meski sebenarnya mereka tidak tahu bahwa di kepala para petani terjadi pertempuran tentang utang pupuk yang menumpuk, kalkulasi hasil panen yang jauh dari harapan, harga komoditas yang turun drastis akibat kelebihan panen atau kebijakan impor pangan, kerugian fatal akibat serangan hama hingga bencana alam, dan sebagainya.

Petani adalah salah satu profesi yang tidak dijamin asuransi baik dirinya secara individu maupun lahan pertaniannya. Menjadi petani bagai berjudi dengan alam semesta yang selalu menyediakan kejutan tentang iklim, cuaca dan musim diluar perhitungan manusia.

Oleh karena itu, kujamin bahwa tidak satupun keluarga petani yang mengharapkan anak-anak mereka menjadi petani. Sebagaimana yang diinginkan keluargaku atasku, agar aku naik derajat dengan menjadi pekerja kantoran atau pegawai negeri sipil. Menjadi petani merupakan profesi bukan pilihan bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan tinggi dan meraih mimpi melalui profesi lain.

Bahkan, diakui atau tidak, profesi petani seringkali direndahkan dalam pergaulan sosial. Telah lama sekali dan bisa dibilang turun temurun, mereka yang berprofesi sebagai petani dan anak dari keluarga petani 'dibuat' malu untuk menegakkan kepalanya dengan bangga sebagaimana profesi lain seperti dokter, arsitek, pegawai negeri sipil, hingga pilot.

Lihatlah di sekeliling kita, siapa petani yang dengan bangga membusungkan dadanya dan menegakkan kepalanya dengan mengatakan kepada dunia bahwa ia seorang petani? Jarang sekali, bukan? 

"Jangan jadi seperti Bapak yang bodoh ini, Nak! Kamu harus sekolah tinggi dan kerja yang bagus. Nasib petani memang selalu begini," ujar Ayahku lebih dari 15 tahun silam. Ayahku ingin aku sukses dan hidup makmur.

Aku cocok kan jaid petani cantik? Foto: Rinto Macho
Aku cocok kan jaid petani cantik? Foto: Rinto Macho
Aku menyukai suasana dan wangi wilayah pedesaan. Tetapi, aku tidak ingin menjadi petani. Aku ingin menggapai ambisiku untuk sukses di kota, menikmati hidup dengan profesi yang mentereng dan membanggakan keluargaku. Lalu, aku pun tinggal dan bekerja di Jakarta, jantung Indonesia. Ya, telah kuraih dan kunikmati mimpi masa kecilku.

Tetapi kemudian gamang menyelimuti kalbu. Haruskah aku terus di kota dan menjadi satu dari lautan manusia desa yang membanjiri kota demi meraih kata "sukses" yang sebelumnya kupuja?

Atau, haruskah aku kembali ke desa dengan menangggung resiko dicibir karena lulusan universitas nomor wahid di tanah air malah menjadi petani? Terlebih kini desa 'kekurangan' pemuda-pemuda cerdas karena semua telah disedot kota dan mengurungnya disana dengan janji kesuksesan.

BERTANI ASYIK ALA PESANTREN EKOLOGI
Di tengah kegamangan yang tak berkesudahan itu aku bertemu dengan teh Nissa Wargadipura, pemilik dan pengasuh Pesantren Ekologi Ath-Thaariq. Pesantren yang berdiri di lahan kurang dari 1 ha di kaki gunung Guntur, Garut, Jawa Barat ini dikenal juga sebagai Green Pesantren karena konsep pengelolaan yang mengaji kitab Allah dalam teks dan hamparan alam semesta.

Teh Nissa dan suaminya Ustadz Ibang, memulai pesantren ini 10 tahun silam setelah perempuan yang merupakan aktivis Serikat Petani Pasundan itu mengalami masalah hebat saat melahirkan puteri ketiganya.

Usut punya usut, teh Nissa mengalami penebalan rahim yang disebabkan olah pola makan yang tidak sehat. Peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya dan bayinya itu kemudian menjadi landasan keduanya untuk menjalani pola hidup sehat dengan merombak total konsep konsumsi, bertani dan berinteraksi dengan alam.

"Teknologi pertanian dan industri makanan modern telah menjebak kita menjadi konsumen yang asal makan, tanpa peduli asal makanan dan berakibat fatal bagi kesehatan," ujar ibu tiga anak itu memulai cerita. 

Dalam kunjunganku ke Pesantren, memang benar terlihat bagaimana perempuan yang sangat gesit, idealis dan pemimpi tersebut menunjukkan bahwa laboratorium hidup yang diasuhnya selama 10 tahun adalah dunia pertanian yang berbeda.

"Bertani itu harus dimulai dengan konsep memuliakan alam, Mbak Ika." Ujarnya mantap. 

Sepasang matanya yang lembut dan keibuan serupa kebanggaan yang tak ternilai tentang kerja keras mengembalikan kearifan lokal warisan nenek moyang ditengah gempuran praktek pertanian modern yang cenderung merusak tanah, air dan rantai makanan.

Kepadaku ia menunjukkan bayam rambat yang berdaun lebat lagi hijau, dengan biji-bijinya yang berwarna hijau tua dan hitam. Kemudian kami bergeser menuju bagian dekat pintu bagian belakang rumah yang dipenuhi tanaman tomat yang sedang ranum, bayam Perancis berdaun selebar telapak tanganku, batang kuur-kuru tua dengan bunganya yang berwarna cokelat lagi siap panen, rumpun-rumpun kecil daun bawang diantara tanaman tomat dan pohon jambu klutuk yang buahnya masih kecil lagi mentah.

Sementara di sisi luar kebun adalah areal persawahan yang baru dipanen dan rumah-rumah mungil khas pedesaan dengan gunung Guntur menjulang jumawa di kejauhan. Tak lupa diatas kami adalah payung semesta berupa langit biru bersih dengan gumpalan awan putih tipis, dan hembusan angin dingin yang menusuk kulit.

Ia juga menghidangkan menu makan siang atau makan malam yang sama sekali berbeda dengan yang pernah kusantap dalam hidupku. Misalnya, telur dadar daun pegagan, tumis oncom dan eceng gondok, atau sambal cabai gendut bumbu rempah. Semua menu tersebut dimasak tanpa 'MSG' apalagi bumbu instan. Semua hanya mengguankan rempah-rempah lokal sehingga bisa juga disebut makanan bersih.

Selain dikenal sebagai pemilik pesantren kece ini, perempuan yang tak pernah berhenti belajar ini juga menjadi pemulia benih lokal. Dalam perjalanan hidupnya sebagai pengasuh sebuah pesantren dengan konsep Pekarangan Ekologis, teh Nissa juga memperdalam ilmunya dengan belajar langsung kepada Dr. Vandana Shiva, yaitu seorang ekofeminis, penulis buku, peraih nobel perdamaian dan penggagas bank benih lokal di India. Kini, pembelajaran itu telah dibaginya kepada berbagai komunitas di Jawa hingga Aceh.

"Pesantren Ath-Thaariq ini luasnya kurang dari hektar, tapi mampu menghidupi seluruh keluarga pesantren setahun penuh. Kami tanam berbagai jenis tomat untuk camilan anak-anak, ada juga pohon cherry. Kalau mau akan tinggal ambil apa yang mau dimakan. Sumber karbohidrat kita punya padi, pisang dan ganyong. Semua tinggal petik dan panen sejengkal dari rumah, Mbak Ika." Perempuan itu tersenyum penuh rasa syukur sampai-sampai sepasang matanya yang nyaris tenggelam itu masih memancarkan sinarnya dengan indah. Ia terlihat begitu puas dan bahagia.

Dalam pertemuan kami, terdapat juga diskusi kecil tentang kondisi pertanian dan petani di Indonesia yang kondisinya cenderung memprihatinkan. Antara 2014-2017, telah terjadi penurunan jumlah angkatan kerja di sektor pertanian, perkebunan, perkebunan, kehutanan dan perburuan sebesar 1,2 juta orang, di mana jumlah petani kini turun dari 40,8 juta orang pada 2014 menjadi 39,6 juta orang pada 2017.

Orang-orang muda enggan bertani dan mewarisi lahan pertanian keluarganya, ditambah lagi dengan berkuranganya lahan pertanian untuk keperluan non pertanian seperti perumahan dan kawasan industri.

Teh Nissa saat memberikan tur keliling pesantren. Dokpri
Teh Nissa saat memberikan tur keliling pesantren. Dokpri
"Petani kita itu salah didik, Mbak Ika. Puluhan tahun kita didorong untuk swasembada pangan dengan tujuan dijual. Padahal, nenek moyang kita dulu bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sisanya baru dijual untuk memenuhi kebutuhan komunitas. Makanya petani jaman dulu selalu punya lumbung pangan. Kita contek orang Baduy deh, masih setia mereka dengan konsep itu," tambahnya.

"Sebelum kita bicara soal swasembada pangan, kita harus mampu melewati tantangan berdaulat pangan. Pesantren Ath-Thaariq sudah melakukan itu. Kita mengaji kalam Tuhan sekaligus paham bagaimana mengisi perut sendiri tanpa meminta-minta. Tantangan ini harus juga dijawab keluarga petani di seluruh Indonesia," tambahnya. 

Pernyataan itu menohokku karena aku paham betul bagaimana keseharian keluarga petani yang jauh dari ukuran sejahtera. Aku mengangguk paham, sembari mengikuti langkah kaki teh Nissa menuju kebun sayuran. Sementara di sisi lain ada tanaman kecipir dan oyong yang merambat di dinding Musholla dua lantai yang terbuat dari bambu.

Aku saat memanen tomat di belakang dapur pesantren. Foto: Budi
Aku saat memanen tomat di belakang dapur pesantren. Foto: Budi
Senang sekali mendapat pencerahan tentang memuja Tuhan dengan cara memakmurkan alam melalui cara yang membahagiakan. Meski mungkin aku terlambat menyadari betapa indahnya menjadi petani cerdas dan kritis, aku telah menemukan alasan jika kelak memilih ke desa dan menjadi petani.

KE UBUD, BELAJAR BERTANI DI HARS GARDEN
Aku masih belum puas. Aku harus mampu meyakinkan diriku sendiri bahwa jika kelak memilih bertani maka aku tidak akan terperosok ke jurang kemiskinan. Maka aku menuju Ubud, Bali untuk belajar di Hars Garden. Sebuah kebun organik milik Hartono Lokodjoyo, petani nyentrik lagi sukses yang kukenal lewat Facebook.

Aku penasaran mengapa petani sepertinya dapat jalan-jalan keliling Indonesia bersama istrinya begitu seringnya seakan-akan bertani hanya merupakan hobi yang dapat dikerjakan dengan menjentikkan jarinya saja. Apakah ia petani dengan lahan puluhan hektar?

Berangkatlah aku ke pulau dewata itu. Penerbangan dari Cengkareng ke Denpasar berjalan lancar tanpa hambatan. Setelah sampai di bandara, kulanjutkan perjalanan ke kota Gianyar menggunakan taksi online selama 90 menit. Dilanjutkan dengan bersepeda motor selama 30 menit ke Hars Garden di Ubud.

Bahagianya aku saat bertemu Mas Har di Hars Garden, bersanam anjing kesayangannya. Foto: Puput Dyah
Bahagianya aku saat bertemu Mas Har di Hars Garden, bersanam anjing kesayangannya. Foto: Puput Dyah
Saat aku memasuki Hars Garden dibawah naungan langit biru dan cuaca panas terik, kulihat lelaki mungil berkaos putih dengan celana pendek selutut berjalan dari arah hutan kecil menujuku. Ia lelaki berperawakan mungil berkulit cokelat dengan rambut gimbal yang diikat.

Di pergelangan tangan kirinya melingkar sebuah jam yang aku yakin harganya sangat mahal, yang nyaris tidak mungkin dibeli petani miskin. Ia berjalan santai beralaskan sandal jepit dan membawa sebuah toples dari plastik. Kupikir, ia akan memanen sayuran untuk makan malam yang akan dibuat istrinya.

Setelah saling menanyakan kabar masing-masing, aku duduk di saung. Lelaki itu meladeni seorang asing yang membeli beberapa jenis sayuran dan ubi, sementara aku mengemil tomat yang kupetik sendiri dari kebun. Saat transaksi selesai ia tersenyum bahagia. Kulihat, ia menghitung segepok uang yang kemudian ia masukkan kedalam saku celananya. Petani kaya nih.

Mas Har, begitulah aku menyapanya mulai bercerita:

"Saya ini dari keluarga miskin di Sragen, Jawa Tengah. Ayah saya meninggal waktu saya masih kecil. Saya punya dua orang adik, yang adik satunya hasil dari pernikahan Ibu saya dan suaminya yang sekarang. Hidup saya ini susah dari kecil. Bahkan sampai usia saya 33 tahun rumah Ibu saya itu yang paling jelek di kampung kami. Saya juga sering lari terbirit-birit kalau lihat mantan pacar saya, karena saya malu jadi petani," Mas Har memulai pembelajaran dengan menceritakan masa kecilnya. Cerita yang sebenarnya telah dia tulis di beberapa status di akun Facebook miliknya.

Aku tersenyum kecut. Ya, sejak dulu profesi petani memang selalu dipandang rendahan bahkan si petani seringkali merasa rendah diri jika membandingkan dirinya dengan orang lain yang berprofesi bukan sebagai petani. Seakan-akan menjadi petani merupakan kutukan takdir.

Dengan sepasang mata sayu seakan-akan sedang menyaksikan layar bioskop yang menampilkan kehidupan masa kecilnya, ia menceriakan tentang mimpi-mimpi masa kecilnya. "Saya ini kutu buku dan sangat suka berkhayal menjelang tidur," ujarnya dengan senyum malu, sembari memilin-milin rambut gimbalnya yang kini diurainya.

Katanya, sejak kecil ia suka berkhayal menjadi orang kaya. Khayalan itu dipacu kesulitan hidup yang dialaminya sebagai orang miskin. Dalam khayalannya ia memimpikan rumah megah, mobol Honda Jazz, keliling berbagai tempat indah di penjuru dunia, bekerja sebagai pemandu wisata, hingga memiliki istri orang asing. Kebiasaan mengkhayal berlanjut hingga ia remaja. Seperti berkhayal bertemu musisi idolanya yaitu Slank untuk berfoto dan membuat lagu bersama.

BACA JUGA: Bertani Mudah dan Murah ala Hars Garden

Dalam mewujudkan mimpinya itu, lelaki berusia 39 tahun ini mengaku pernah menjalani berbagai profesi mulai dari musisi kelas kampung yang tampil di setiap acara hajatan, pengamen di bis kota dan kereta, pekerja di pabrik tahu di Jakarta, penebang kayu di rawa-rawa di pedalaman Kalimantan hingga terserang malaria, buruh tani di perkebunan sawit, kerani yang korup hingga penjual narkoba.

"Saya ke Bali ini karena tertarik dengan tawaran memelihara lima puluh ekor sapi dengan lahan yang sangat luas, sampai puluhan hektar. Saya hitung dalam dua tahun saya bisa kaya raya. Tapi perkiraan saya meleset dan akhirnya saya bekerja sebagai gardener di Jogja Kafe di kampung sebelah itu.

Gaji pertama saya waktu itu satu koma lima juta, sudah besar untuk ukuran waktu itu," ujarnya seakan sedang mentertawakan masa lalunya yang selalu dianggapnya sebagai jalan yang memang telah Tuhan sediakan untuknya agar sampai ke posisinya yang sekarang.

"Saya itu dulu perokok berat. Gaji saya sebagai gardener itu 1.5 juta. Akhir bulan hanya tersisa 500ribu. Waktu itu umur saya 29 tahun dan saya berpikir mau jadi apa saya kalau uang hasil bekerja habis untuk rokok. Akhirnya saya putuskan berhenti merokok dan uang 1 juta itu saya tabung. Saya bukan tabungan di BRI. Setelah 5 bulan saya punya tabungan 5 juta dan mulai menyewa lahan untuk membuat kebun milik saya sendiri. Itulah cikal bakal Hars Garden yang bisa kamu lihat sekarang," ujarnya dengan mata berbinar.

Wah! Keren sekali lelaki ini dapat berhenti merokok total demi mewujudkan mimpinya untuk memiliki lahan pertanian sendiri.

"Awal-awal saya buka kebun sendiri, saya sukses menanam apa saja. Tapi masalahnya adalah pemasaran. Saya sudah berhasil di mengelola tanah dan tanaman, tapi saya gagal memasarkan produk saya. Sampai capek sekali saya. Pagi sampai siang saya bekerja sebagai gardener di Jogja kafe, lalu siang sampai sore saya bekerja di kebun sendiri, lalu sore sampai malam saya memasarkan produk saya. Ya tidak laku. Sampai akhirnya saya berpikir untuk merubah cara saya menjual. Keuntungan saya sekarang adalah pembeli produk kebun saya orang asing yang sangat peduli dengan kesehatan makanan mereka, makanya produk kebun Har's Garden ini laris dan menguntungkan bagi saya," katanya mantap.

Saat Hartono Lokodjoyo menanam benih lettuce atau selada (dok. pribadi)
Saat Hartono Lokodjoyo menanam benih lettuce atau selada (dok. pribadi)
Proses kerja keras dan jatuh bangun sebagai petani organik mengantarkannya pada pengetahuan yang berbeda dari petani dan petani organik kebanyakan. Dalam pandanganku, lelaki nyentrik yang rendah hati ini merasa semakin bersyukur kepada Tuhan karena diberikan kemampuan untuk mengelola bumi dengan benar sehingga mendatangkan kemakmuran baginya dan keluarganya.

"Saya sudah pernah menjalani berbagai jenis pekerjaan seperti yang saya ceritakan ke kamu. Tapi, bertani adalah pekerjaan yang paling saya nikmati," ujarnya bangga. Aku tersenyum senang mendengar kalimat itu.

Pengakuan yang mengejutkan ini memang dapat kubenarkan manakala selama 10 hari lamanya aku belajar langsung kepadanya di lahan pertanian. Mas Har bertani dengan gembira. Hal ini ditunjukkan dengan caranya dalam memperlakukan tanah, tanaman, bibit, air, hingga proses memanen.

Tak lupa ia membawa ponselnya dan menyimpannya di saku celana pendek selutut. Ia memerlukan ponsel itu sebagai media untuk mendengarkan musik jenis campursari. Ya, Mas Har bertani sembari mendengarkan musik campursai!

Kebun itu pula yang mempertemukannya dengan jodohnya. Namanya Ryoko Mine, seorang sutradara dan wanita karir di bidang pertelevisian Jepang yang bosan menjalani hidup ala perkotaan, dan main ke Bali untuk melihat peluang baru.

"Mbak Ryoko itu dulu punya Villa dan kami sempat tinggal disana setelah menikah. Tapi karena konsepnya sama dengan kebanyakan villa, maka villa kami tidak begitu laku. Setelah kunjungan ke Jepang dan melihat sebuah rumah pohon di lokasi syuting temannya istri saya itu, kami pun akhirnya membuat rumah pohon di Hars Garden," ujar Mas Har dengan mata berbinar.

Ya, Mas Har dan istrinya tinggal di sebuah rumah pohon dua lantai di Hars Garden. Kemudian mereka membangun dua unit rumah pohon lain yang disewakan melalui www.airnb.com, sebuah situs yang menyediakan informasi tentang tempat tinggal rasa lokal bagi turis dari seluruh dunia. Kedua unit rumah pohon itulah yang mengisi sebagian besar pundi-pundi Rupiah miliknya.

BACA JUGA: Kenangan di Hars Garden Tree House

Selain untuk menjalani hidup dengan bahagia dan bersahabat dengan alam. Ketiga rumah pohon dibangun di lahan pertaniannya sebagai salah satu kritik pada gerakan Bali Not For Sale yang menurutnya tidak memiliki solusi yang jelas.

"Saya sudah merasakan berhasil dari Hars Garden ini. Saya punya kebun organik yang menghasilkan. Saya juga punya rumah pohon yang menghasilkan. Hidup saya berkecukupan untuk seorang petani yang menyewa tanah. Tanah ini saya sewa, bukan punya saya. Makanya saya ingin pemilik tanah di sekitar saya belajar pada saya. Coba mereka bangun satu rumah pohon itu ditengah sawah, pasti laris. Tidak perlu bangun hotel pakai semen. Cukup pakai kayu. Kita harus bersahabat dengan alam. Itu baru namanya solusi untuk Bali not for Sale," katanya lagi seraya memandang sekeliling, dimana sawah-sawah di area Ubud mulai beralih fungsi menjadi bangunan dari semen. 

Selain itu, ia juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa menjadi petani ternyata tidak sesulit yang dibayangkan meski ia pernah merasa begitu minder dan rendah diri sebagai petani. Kini, ia menjadikan dirinya sebagai ikon bagi petani asyik dan kece yang mampu keliling dunia dari lahan kurang dari 1 hektar yang disewanya.

Hartono Lokodjoyo dan istrinya Ryoko Mine saat melakukan sesi post wedding dalam sebuah plesiran di tanah air. Ia tidak terlihat seperti petani, bukan? Sumber: Hartono Lokodjoyo
Hartono Lokodjoyo dan istrinya Ryoko Mine saat melakukan sesi post wedding dalam sebuah plesiran di tanah air. Ia tidak terlihat seperti petani, bukan? Sumber: Hartono Lokodjoyo
Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 39, ia dan istrinya jalan-jalan keliling Asia nyaris sebulan lamanya. Mereka keliling Thailand, Vietnam hingga Turki.

"Di hari ulang tahun saya yang ke 39, saya mau berdoa di masjid Biru di Turki untuk semua orang agar dimudahkan jalan hidupnya oleh Tuhan," ujarnya di hari ke 10 pembelajaranku di hars Garden. Sebagai petani berlahan sempit dan menyewa pula, ia telah menikmati kelimpahan hidup yang harus dirayakan dengan keliling dunia.

By the way, apakah pembaca bisa menerka berapa penghasilan Mas Hartono Lokodjoyo dari kebun mungilnya lengkap dengan dua unit rumah pohon yang disewakan? 

Yuk kita hitung: 

 - Harga sewa satu unit rumah pohon adalah Rp. 580.000 per malam dikali 2 unit. 

(Dan rumah pohon Hars Garden ini selalu full booked, bahkan hingga awal 2019)
- Gardening class Rp. 600.000 per orang

- Traditional Cooking class Rp. 400.000 per orang

- Making Coconut Oil Class Rp. 400.000 per orang

- Paket sayuran rata-rata Rp. 60.000 per kantong (tergantung jenisnya)

- Penyewaan motor Rp. 70.000 per motor per hari

- Selisih promosi tour wisata Ubud dan lain-lain. 

Jadi petani smart ternyata seru ya, ada banyak cara menghasilkan uang. Meskipun Mas Har hanya petani biasa lulusan SMP, tetapi level pengalaman, pengetahuan dan penghasilannya telah melampuai petani kebanyakan. Maka, sangat wajar jika kukatakan bahwa aku sangat merasa beruntung dapat berkenalan dengannya dan belajar langsung di Hars Garden.

Sebelum meninggalkan Ubud, kutatap langit biru dengan awan putih berarak bagai sedang merayakan sebuah karnaval kesucian. Kepada Tuhan aku memohon kehidupan yang baik dan petunjuk untuk melakukan hal-hal baik bagi diriku dan dunia. Jika diizinkan, aku juga ingin menjadi petani asyik dan bahagia, seperti kedua guruku. Bertani asyik, banyak duit dan nggak takut kulit bersisik. Siapa mau ikut? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun