Kisah salib kecil dan salib besar ini kemudian ditutup dengan sebuah kutipan dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma: 'Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita' (Roma 8:18). Â
Menarik apa yang disampaikan Frater. Saya juga sering 'membuat-buat' sendiri salib, dan saya juga selalu berdoa seperti orang yang ada dalam kisah di atas, agar salib saya ringan-ringan saja. Kisah salib kecil dan salib besar menyadarkan saya, bahwa ternyata doa seperti itu keliru. Â
Refleksi terhadap Hidup Pernikahan
Entah bagaimana renungan saya sampai pada topik pernikahan. Mungkin karena saya baru saja menulis tentang dampak mendampingi istri melahirkan. Di artikel saya di Kompasiana, saya kisahkan tentang pernikahan saya yang sudah lebih dari 32 tahun.
Meskipun banyak kritik, tetapi Gereja Katolik sampai hari ini masih melihat pernikahan sebagai sebuah sakramen. Artinya Gereja Katolik menetapkan pernikahan sebagai ikatan yang kekal dan eksklusif antara kedua mempelai.
Kekal berarti bahwa Allah telah memeteraikan kesepakatan pernikahan. Apa yang sudah disatukan oleh Allah melalui Sakramen Pernikahan (saya lebih suka menggunakan kata 'pernikahan' dibandingkan dengan 'perkawinan') tidak dapat diceraikan oleh mempelai, baik secara satu pihak suami atau istri maupun kesepakatan kedua belah pihak atau juga orang tua mempelai.
Seperti yang tertulis di Injil Matius, 'Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia' (Matius 19:6).
Sementara eksklusif artinya pernikahan itu antara dua orang saja yaitu sang suami dan sang istri, tidak ada pihak lain ada dalam pernikahan. Sampai saat ini pernikahan Katolik tidak mengenal poligami atau poliandri.
Sebagai kehendak Tuhan seperti yang tertulis dalam Injil Matius tersebut, maka saya harus taat penuh pada kehendak Bapa, bahwa pernikahan itu kekal dan eksklusif. Lalu apakah pernikahan saya mulus-mulus saja? Tentu saja tidak. Selalu ada pertengkaran besar maupun kecil, tetapi memikul salib berarti saya tetap harus taat dan tidak bercerai. Mudahkah? Tentu juga tidak.
Menurut saya pertengkaran besar maupun kecil merupakan salib yang harus kami tanggung, saya dan istri saya dalam mempertahankan pernikahan kami . Menikah secara Katolik itu menuntut ketaatan penuh pada kehendak Bapa 'apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia'.
Pertengkaran dalam usaha mempertahankan pernikahan, jika mengikuti kutipan dari detiksulsel maupun homili Frater, seharusnya saya pandang sebagai salib. Tetapi salib yang diderita oleh pasangan maupun anak akibat perceraian seharusnya juga bukan dipandang sebagai salib, karena perceraian berarti bukan ketaatan kepada Allah.
Pesta Salib Suci mengingatkan saya, bahwa awal pernikahan yang menyatukan saya dan istri saya adalah kasih. Allah dengan kasih-Nya telah memberikan pendamping bagi saya dalam pernikahan. Maka pertengkaran besar ataupun kecil seharusnya jangan sampai membuat saya lupa akan kasih yang mengawali pernikahan kami.