Mohon tunggu...
Wijanarto
Wijanarto Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

#mencintai sejarah #positiv thinking# niku mawon {{{seger kewarasan}}}

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makar dalam Kekuasaan Jawa

9 Maret 2020   11:36 Diperbarui: 9 Maret 2020   11:36 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun Lor Keraton Yogya Abad XVIII | freenewwallpaperdesign.blogspot.com

Makar dan suksesi kekuasaan, 2 hal yang mendominasi dalam panggung kekuasaan Jawa. Keduanya menyangkut transformasi politik. Dan keduanya bersumber pada tahta. Makar dalam perspektif kekuasaan Jawa bukan sesuatu yang tabu. Kisah makar dalam panggung sejarah Jawa kerap mewarnai, sehingga melontarkan dendam kesumat dan pertumpahan darah.

Kisah makar kekuasaan Demak pasca meninggalnya Trenggana 1546 adalah contohnya. Kematian Pangeran Seda Ing Lepen (pewaris tahta Demak) yang dibunuh oleh Pangeran Prawata, menciptakan instabilitas politik yang melibatkan perseteruan trah. Kemunculan Arya Penangsang putra Pangeran Seda Ing Lepen memperumit persoalan seteru ini. Kondisi tersebut akan berlanjut pada periode Pajang hingga Mataram Islam.

Ontran-ontran makar terendus dalam kekuasaan Amangkurat I (1645-1677). Perseteruan diantara anak-anak Amangkurat I menjadikan keguncangan tahta,sebelum nantinya Trunajaya mengobrak abrik kekuasaan Mataram. Instablitas politik diperkeruh dengan dilibatkannya pihak eksternal Mataram Islam., yakni VOC. Sejarah Jawa mencatat, pada masa kekuasaan Amangkurat III, makar dilakukan Pangeran Puger dan berhasil menggulingkan kekuasaan Amangkurat III yang dijuluki Sunan Pincang ini.

Sejarah panjang instabilitas politik ini terjadi pada kegentingan suksesi yang tak berjalan sukses, dukungan atas legitimasi yang melemah serta mundurnya kekuasaan sang raja. Pasca kekuasaan Sultan Agung (1613-1645), tepatnya periode Amangkurat I stabilitas politik Mataram mengemuka. Perseteruan diantara keluarga, ketidakpuasan atas sejumlah kebijakan politik Amangkurat I, melahirkan klik pemberontak yang membentuk faksi Adipati Anom (putra mahkota), Panembahan Kajoran dan Trunajaya.

Tersebab makar

Ada beberapa alasan pemantik makar dalam kekuasaan Jawa. Dalam perspektif Jawa lemahnya kekuasaan raja karena hilangnya cahya nurbuwat (B.J.O Schrieke, 1957). Istilah lainnya andaru atau pulung kraton. Ancaman tahta yang guncang jika hilangnya cahya nurbuwat pada diri raja. Dalam konsep kekuasaan berkaitan dengan mistik kejayaan dan keberlangsungan kekuasaan raja.

Cahaya pulung bisa berpindah dan menciptakan proses transisi politik kekuasaan. Legitimasi atas ketiban pulung ditandai pencitraan mistikisme. Sebagaiamana Senapati (Sutawijaya) yang ketiban pulung saat tidur diatas batu Lipura sebelum ditahbiskan penguasa Mataram. Puncaknya dipertegas ketika Sutawijaya mengalahkan Sultan Hadiwijaya Pajang di Prambanan. Walaupun sang Sultan berlindung di makam suci Sunan Tembayat, sebagaimana B.J.O Schrieke  mengutip artikel Rinkes dalam karyanya Indonesian Sociological Studies : Selected Writing B Schrieke, juru kunci makam menutup pintu untuknya dengan alasan , "Cahaya kekuasaan telah berlalu dari paduka ke penguasa Mataram".

Kisah pulung bukan monopoli kekuasaan Mataram. Cerita dalam Mahabharata mengisahkan nasib wangsa Pandu Dewanata di meja dadu. Kutipan karya klasik Parthayajna yang diringkas Poerbatjaraka menjelaskan bahwa cahya nurbuwat melesat meninggalkan keraton saat Samiaji / Puntadewa kalah dadi dari Kurawa.Kisah Pararaton menyebutkan soal Ken Angrok yang beroleh pulung saat menuju gunung Lejar, di tempat dewa berkumpul.

Tersentralnya raja dalam kekuasaan banyak disebut dalam teks-teks Jawa. Serat Wulangreh memposisikan raja sebagai wakil Tuhan. Sebagai wakil raja di dunia, ia adalah raja binathara. Kajian Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, sebagai penguasa binathara , raja memiliki 3 wahyu, masing-masing wahyu nubuwah, wahyu kukumah dan wahyu wilayah.

Wahyu nubuwah mempertautkan raja sebagai wakil Tuhan, wahyu kukumah berarti raja sebagai sumber hukum dan wahyu wilayah memposisikan raja sebagai pemberi penerangan dan perlindungan kepada rakyatnya. Selain Serat Wulangreh, ada Serat Nitipraja, Wedhatama dan Serat Rama yang mengajarkan ajaran Astabrata.

Dunia ideal kepemimpinan Jawa meragum nilai-nilai kepemimpinan raja sebagai janma kang utama (manusia yang sempurna). Sayangnya hal tersebut bertolak belakang dengan dinamika politik Jawa yang rentan dengan konflik kekuasaan. Sepanjang periode Demak, Pajang hingga Mataram Islam siklus kekuasaan mencuatkan konflik seputar suksesi dan ancaman makar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun