"Gak masalah. Aku kan pacarnya."
"Ini gak benar, itu salah. Dion itu memperalat kamu, dia santai-santai, kamu sibuk mengerjakan PR-nya. Kamu tahu gak, kalau dia suka keluyuran sampai malam, tidak peduli PR-nya karena kamu sudah ada."
"Tahu darimana kamu? aku terkejut dengan pernyataannya.
"Iyalah, aku sering lihat dia pulang malam. Kamu lupa kalau dia tetanggaku? Kamarku di lantai atas. Kadang aku suka mengerjakan PR di balkon. Aku sering lihat mobilnya pulang malam hari," penjelasan Stella membuatku sadar kalau aku lupa dia adalah tetangganya Dion.
"Yakin itu Dion? Mungkin papanya?" aku tetap tak percaya.
"Yakin, aku hapal nomor pelat mobilnya. Om Gatot mobil dan nomor pelatnya beda," Stella meyakinkanku.
Om Gatot adalah papa Dion.
***
Percakapan antara Stella dan aku kemarin itu sangat membekas. Aku menyayangi Dion, kurasa tak salah aku membantu mengerjakan PR-nya.
Tapi pembicaraan itu terus membayangiku sampai sore hari ini. Karena tak tenang aku memilih keluar rumah, mumpung hari Sabtu dan cuaca lagi cerah.
Aku mencoba menghilangkan ingatan tentang percakapan itu dengan berencana mengitari salah satu Mal di kota ini.