Peradaban manusia ditandai dengan adanya perubahan besar dalam cara manusia melakukan proses produksi, konsumsi, dan distribusi pengetahuan. Salah satu penemuan yang signifikan dalam sejarah peradaban Barat hingga dunia adalah penemuan mesin cetak Gutenberg pada pertengahan abad ke-15 di Mainz, Jerman. Penemuan ini dianggap sebagai revolusi komunikasi yang mengubah lanskap sosial, politik, dan keagamaan secara fundamental. Mesin cetak Gutenberg memungkinkan pencetakan buku secara massal, efisien, dan berbiaya lebih rendah dibandingkan dengan metode penyalinan manuskrip yang sebelumnya didominasi oleh kalangan klerus atau para penulis tangan profesional di biara. Dalam waktu relatif singkat, produksi teks meningkat dan akses terhadap informasi yang sebelumnya eksklusif menjadi lebih terbuka bagi kalangan menengah dan awam.
Menurut Elizabeth Eisenstein (1980) dalam karya monumental The Printing Press as an Agent of Change, mesin cetak bukan hanya alat produksi, tetapi juga "agen perubahan" yang mempercepat munculnya gerakan intelektual seperti Renaisans, Reformasi Protestan, dan Revolusi Ilmiah. Fussel (2020) juga menekankan bahwa efisiensi dan reproduksi teks cetak menjadi faktor penting dalam menyebarkan ide-ide Reformasi oleh Marthin Luther. James Raven (2007) dalam The Business of Books menunjukkan bahwa kemunculan pasar buku pasca-Gutenberg turut membentuk industri penerbitan dan menciptakan pasar pembaca baru yang semakin luas, khususnya di perkotaan. Literasi meningkat seiring dengan meluasnya distribusi bahan bacaan, dan muncul pula kebiasaan membaca sebagai praktik sosial yang lebih umum. Buku, yang sebelumnya merupakan simbol eksklusivitas kelas elit dan gereja, berubah menjadi komoditas budaya yang beredar luas dan membentuk imajinasi kolektif masyarakat.
Seiring perkembangan teknologi menjadi digital, transisi dari buku fisik menjadi format digital merepresentasikan terjadinya perubahan struktural terbesar dalam sejarah penyebaran informasi dan pengetahuan. Pada era mesin cetak Gutenberg, ia merevolusi cara manusia mengakses informasi melalui mekanisme cetak massal. Sedangkan Jeff Bezos, pendiri Amazon, menciptakan sebuah era baru yang mana teknologi digital menjadi kekuatan utama dalam proses produksi, konsumsi, dan distribusi pengetahuan. Â Amazon didirikan pada tahun 1994 dengan meluncurkan toko buku online pertama berskala global. Dalam konteks ini, Amazon dan platform digital sejenis tidak hanya menyediakan buku dalam format cetak dan digital, tetapi juga menciptakan ekosistem tertutup berbasis algoritma yang mengatur apa yang dibaca, bagaimana teks dikonsumsi, dan bahkan siapa yang dapat menerbitkan.
Kemunculan e-book, audiobook, serta layanan penerbitan individu seperti Kindle Direct Publishing (KDP) menandai mulai berakhirnya dominasi penerbit tradisional serta toko buku fisik, sekaligus memperkenalkan bentuk baru dari kekuasaan redaksional yang dikendalikan oleh kode dan data (Striphas, 2009). Dalam lanskap digital saat ini, pengetahuan tidak lagi hadir dalam bentuk teks fisik semata, melainkan tersedia dalam format yang dapat dibaca di layar gadget atau didengar sambil beraktivitas. Platform seperti Amazon Kindle, Audible, Scribd, hingga Google Books memungkinkan pengguna mengakses jutaan judul dengan cepat, murah, dan portabel. Transformasi ini berdampak langsung pada menurunnya minat terhadap buku fisik. Data dari Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa proporsi pembaca buku digital meningkat tajam dalam satu dekade terakhir, terutama di kalangan generasi muda dan profesional urban. Di Indonesia, survei Perpustakaan Nasional RI (2023) juga mencatat bahwa kunjungan ke perpustakaan mengalami penurunan signifikan, seiring meningkatnya preferensi masyarakat terhadap akses bacaan digital yang lebih praktis dan fleksibel.
Fenomena ini berdampak serius terhadap ekosistem literasi berbasis fisik. Banyak toko buku independen, baik di kota besar maupun daerah, terpaksa tutup karena kalah bersaing dengan model distribusi daring dan dominasi platform global. Bahkan beberapa perpustakaan umum dan kampus mulai kehilangan relevansi sebagai pusat akses pengetahuan karena tidak mampu bersaing dalam hal kecepatan, kenyamanan, dan jangkauan koleksi digital. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran mendalam dalam infrastruktur epistemic, yakni sistem sosial, material, dan teknologi yang menopang bagaimana pengetahuan dikurasi, disimpan, dan disebarluaskan (Fricker, 2007; Carr, 2020). Jika sebelumnya pengetahuan dikontrol oleh institusi seperti perpustakaan, penerbit, dan lembaga pendidikan, kini kekuasaan epistemik berpindah ke tangan korporasi teknologi yang mengatur akses informasi melalui logika algoritma, rating, dan popularitas.
Dengan kata lain, digitalisasi buku bukan hanya soal format dan efisiensi, tetapi juga tentang perubahan struktur kekuasaan dalam dunia pengetahuan. Platform tidak hanya memediasi akses bacaan, tetapi juga menentukan apa yang layak dibaca, siapa yang dapat menerbitkan, dan bagaimana pengetahuan dihargai. Situasi ini memunculkan tantangan serius dalam menjaga keberagaman wacana, independensi intelektual, dan akses pengetahuan yang adil bagi publik luas.
Transformasi dari buku fisik ke format digital seperti e-book dan audiobook telah membawa perubahan besar dalam sosial budaya dan politik masyarakat. Platform digital seperti Amazon melalui Kindle Direct Publishing (KDP) memfasilitasi akses penerbitan yang lebih terbuka bagi penulis, termasuk mereka dari komunitas marjinal dan negara berkembang. Namun, di balik kemudahan akses tersebut, muncul bentuk baru kekuasaan yang terpusat dalam arsitektur platform digital. KDP tidak hanya bertindak sebagai kanal distribusi, tetapi juga sebagai pihak baru yang menentukan visibilitas dan akses buku melalui algoritma yang tidak transparan berdasarkan logika pasar dan data konsumen. Dalam kondisi ini, terjadi pergeseran kuasa redaksional dari editor manusia ke sistem otomatis berbasis rating, klik, dan tren penjualan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kedaulatan atas pengetahuan dan data telah bergeser dari institusi publik ke tangan korporasi digital. Negara alih-alih menjadi aktor dominan dalam menjamin distribusi pengetahuan sebagai hak warga, berisiko terjebak menjadi shadow state yakni pihak yang hadir namun pasif dalam ekosistem yang dikuasai oleh platform private. Ketergantungan pada infrastruktur asing seperti Google Cloud atau Amazon Web Services dalam pengelolaan perpustakaan digital (seperti iPusnas) menandai bagaimana kedaulatan data dan arsitektur distribusi berada di luar kontrol langsung pemerintah. Hal ini berpotensi mengganggu proyek jangka panjang negara dalam menciptakan warga negara yang literat, kritis, dan berdaulat.
Oleh karena itu, peran negara tidak cukup hanya sebagai regulator teknis. Namun, negara juga perlu hadir sebagai penjaga arsitektur pengetahuan publik. Negara harus aktif merebut kembali ruang digital yang menjamin distribusi pengetahuan secara adil, inklusif, dan bebas kepentingan. Hal ini mencakup komitmen untuk tetap memperhatikan keberlangsungan penerbit konvensional dan eksistensi buku fisik sebagai bagian dari ekosistem literasi yang beragam. Negara perlu mengembangkan dan mengendalikan infrastruktur digitalnya sendiri. Aplikasi seperti iPusnas tidak cukup hanya merepresentasikan digitalisasi buku, tetapi perlu diperluas menjadi bagian dari cloud nasional untuk pendidikan dan literasi. Dalam hal ini, Plantin et al. (2018) menyebutnya sebagai state-led data infrastructure, yaitu infrastruktur digital yang dibangun dan dikelola oleh negara untuk menjamin akses dan kontrol publik terhadap data dan distribusi pengetahuan.
Kebijakan dan regulasi digital harus dirancang secara partisipatif dan lintas sektor. Negara perlu mengikutsertakan berbagai aktor termasuk penulis, penerbit, akademisi, dan komunitas literasi dalam merumuskan kebijakan perlindungan data, transparansi algoritma, dan pengawasan terhadap monopoli platform. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hak penulis atas data pembaca diperhatikan, kurasi konten tidak semata ditentukan oleh logika pasar, serta distribusi pengetahuan tidak dimonopoli oleh satu entitas komersial. Melalui langkah-langkah tersebut, negara dapat membangun kembali posisinya sebagai pengatur utama dalam ekosistem literasi dan pengetahuan, dan bukan sekadar penumpang dalam arus besar kapitalisme platform.