Mohon tunggu...
Al Widya
Al Widya Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

...I won't hesitate no more... just write...!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Galau Hati Alia [Part 1] : Sebuah Pengakuan….

30 Desember 2011   06:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:34 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gemericik air mengalir di sungai di tepi hutan itu seakan menjadi saksi galau hati Alia.. ia duduk dengan kaki ditekuk di atas batu besar dan meletakkan kepala di lututnya… matanya menerawang jauh memandang awan biru yang berarak dan burung burung hutan yang terbang mengitari sungai mencari mangsa ikan ikan kecil. Seekor burung yang sejak tadi ia perhatikan berputar putar di sekitar sungai tiba tiba meluncur tajam ke dalam sungai.. beberapa detik kemudian muncul lagi dengan seekor ikan yang cukup besar di paruhnya lalu menghilang di balik pepohonan.

Sudah hampir satu jam gadis itu duduk di atas batu. Memikirkan nasibnya… ia masih bingung bagaimana menyampaikan berita ini kepada orang tuanya… bahwa ia tengah berbadan dua dan sialnya ayah biologis anak dalam kandungannya ini meninggalkanya. Dengan pemberian sejumlah uang laki laki bejat itu memintanya untuk menggugurkan kandungannya. Huft… Alia terlalu lugu untuk menyadari pesona Randu yang telah mempermainkan perasaannya. Ia yang hanya pegawai sebuah toserba begitu takut menggugurkan kandungan yang berarti ia membunuh anaknya sendiri… dan itu adalah dosa besar. Hhhhh……….. gadis itu menghela nafas panjang… seolah ingin melepaskan beban berat yang menghimpit dadanya.

Sejenak kemudian ia beranjak dan berjalan meninggalkan sungai. Kaki yang beralaskan sandal jepit itu terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju hamparan persawahan terluas di desanya. Ia terus berjalan menyusuri pematang sawah dan berhenti di sebuah dangau sederhana terbuat dari bambu. Di bereskannya rantang rantang dan bakul bekas makanan untuk Bapaknya tadi siang. Hmm… sudah sore, persawahan sudah mulai sepi. Bapaknya pun pasti sudah pulang dari tadi. Dengan langkah gontai gadis itu kembali melalui pematang dan menyusuri jalan setapak menuju desa tempat tinggalnya.

Di tengah jalan ia bertemu Heru.. teman sepermainannya sejak kecil. Namun saat ini Heru tidak meneruskan sekolah, ia hanya membantu orang tuanya bercocok tanam dan memelihara hewan ternak. Kasihan Heru.. padahal ia tergolong anak yang pintar. Ah.. tapi nasibnya tak seburuk nasibku… bathinnya….

“ Alia…. Emak tadi mencarimu.. kemana saja kamu sesore ini baru pulang..” Heru berjalan di sebelah Alia sambil memanggul sebongkah rumput untuk makanan ternak.

“ Aku jalan jalan, Her… sudah lama nggak ke sungai di tepi hutan…“

Di perempatan jalan Heri berbelok menuju rumahnya sementara Alia tetap meneruskan perjalanan. Rumahnya masih cukup jauh.. ia harus melewati balai desa dan mesjid. Di dekat balai desa ia dikejutkan oleh wak Dullah, guru ngajinya sejak kecil…

“ Alia… nanti malam ikut pengajian di mesjid ya… ada siraman rohani dari keponakan saya yang baru lulus dari Institut Agama Islam dari Malaysia…”

“ Oh, iya.. wak insyaallah… saya pasti datang…” Alia memang tidak pernah menolak setiap kali di undang pengajian dan acara keagamaan lainnya.

-----

“ Astaqfirullah alazhim…… kelakuanmu ternyata memalukan bapak Al….. kamu ini bapak didik dengan landasan agama yang baik di rumah.. mengapa kamu malah berzina.. apa kamu ndak takut sama azab.. ”

“ Maafkan saya, pak… saya khilaf….” Alia bersimpuh di kaki ayahnya sambil berurai air mata.

“ Sudahlah, pak… bagaimanapun Alia anak kita satu satunya… lebih baik kita carikan jalan keluarnya supaya anak dalam kandungannya tidak lahir sebagai anak haram…” Ibu seperti biasa selalu menjadi malaikat penyelamat keluarga kami

“ Bagaimanapun anak itu tetap anak haram, bu… kalaupun dia punya ayah itu hanya untuk menutupi aib saja… di hadapan Allah tetap dianggap anak haram..” Laki laki yang walau belum begitu tua namun wajahnya terlihat berkerut kerut karna menghadapi hidup yang keras dan sengatan sinar mata hari di sawah.

“ Assalamu’alaikum……. “ Seseorang mengetuk pintu rumah kami.

“ Waalaikumsallam..” Ibu menjawab dan membukakan pintu.

“ Oh, wak Dullah…. Silahka masuk wak….” Bapak mempersilahkan Wak Dullah masuk, Wak Dullah ternyata bersama keponakannya.

“ Terimakasih pak, di teras saja…. Saya hanya mampir… tadi Alia saya undang pengajian tapi kok tidak datang…. Apa Alia sudah balik ke kota?........”

“ Eh… anaknya ada wak.. Cuma…….” Ibu terlihat bingung.

“ Ada apa dengan Alia? …” Wak Dullah melihat gelagat yang aneh dari ibu dan bapak

“ Silahkan masuk wak… nanti saya ceritakan di dalam……”

Dari dalam kamarnya Alia mendengar bapak menceritakan semua tentang dirinya kepada Wak Dullah. Ia hanya mampu mengusap air mata ketika Wak Dullah mengucap Istighfar berulang ulang… Alia semakin merasa berdosa.. air matanya semakin deras mengalir sehingga ia tak mampu mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya dengan Wak Dullah dan keponakannya.

“ Jadi kita tanyakan dulu ke Alia… karna bagaimanapun keputusan tetap berada di tangannya..” Suara wak Dullah terdengar lagi.

Suara langkah kaki ibu memasuki kamarnya dan meminta ia keluar menemui Wak Dullah. Ibu mengungkapkan keinginan Wak Dullah untuk membantu menyelamatkan anak yang ada di rahimnya. Keponakan Wak Dullah yang bernama Rahman itu mau menikahinya paling tidak sampai anaknya lahir. Alia sudah tidak punya pilihan selain menyerahkan nasibnya kepada kedua orang tuanya. (continue to part2)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun