Tiap 23 Juli, bangsa ini seolah tersadar sejenak untuk melihat anak-anak: generasi penerus, tumpuan masa depan, investasi jangka panjang yang tak ternilai. Hari Anak Nasional hadir sebagai pengingat—bahwa anak-anak tidak hanya butuh kasih sayang, tetapi juga penghargaan, perlindungan, dan bimbingan yang tepat. Namun di balik seremoni dan slogan perlindungan anak, sesungguhnya terselip kegelisahan yang makin sulit disembunyikan: apa benar kita, sebagai bangsa, sudah memuliakan anak-anak kita?
Tahun ini, Hari Anak Nasional diwarnai oleh sejumlah kasus yang mencemaskan. Selain video viral anak-anak remaja yang marah-marah karena tidak dibelikan ponsel mahal di Demak, ada satu kasus lain yang tak kalah mencengangkan: seorang ustadz atau pak yai pengajar Madrasah Diniyah dituntut denda sebesar 25 juta rupiah oleh orang tua muridnya sendiri. Konon, hanya karena menegur atau memberi hukuman ringan kepada anak tersebut. Bukan kekerasan, bukan penganiayaan berat, melainkan tindakan mendidik—yang kemudian dibalas dengan tuntutan hukum dan tuntutan materiil yang tidak masuk akal.
Apa yang sedang terjadi? Mengapa relasi antara pendidik dan orang tua bisa setegang ini? Mengapa pendidikan moral dan agama pun kini dipertaruhkan di bawah bayang-bayang ancaman hukum dan tuntutan materi? Apakah ini wujud perlindungan anak? Atau justru bentuk penyimpangan dari makna aslinya?
Ketika Pendidikan Kehilangan Wibawa, dan Anak Menjadi Raja
Kasus pak yai yang dituntut oleh wali murid bukanlah sekadar soal hukum. Ini adalah gejala dari retaknya kepercayaan sosial antara pendidik, orang tua, dan anak-anak. Jika dahulu guru atau ustadz dihormati sebagai “orang tua kedua,” kini mereka sering kali diperlakukan sebagai “penyedia jasa” yang bisa dikritik, ditekan, bahkan dituntut, ketika metode mendidik tak sesuai keinginan orang tua.
Lebih parah lagi, ini bisa menumbuhkan generasi anak yang merasa kebal terhadap koreksi. Jika anak diberi teguran, maka bukan introspeksi yang tumbuh, melainkan laporan ke orang tua. Jika ditegur karena malas atau membuat gaduh di kelas, maka orang tua justru menyalahkan guru: “Anak saya dipermalukan!” Padahal bukankah pendidikan membutuhkan proses pembiasaan, ketegasan, dan koreksi yang sehat?
Kita tidak sedang membela praktik kekerasan dalam pendidikan. Tapi jangan pula kita melompat ke kutub ekstrem: di mana setiap bentuk pendisiplinan langsung dianggap sebagai kekerasan. Ini justru berbahaya, karena anak tumbuh tanpa batas. Tanpa batas, anak kehilangan arah. Dan kehilangan arah adalah awal dari kehancuran karakter.
Antara Perlindungan Anak dan Pemanjaan Terstruktur
Kita semua sepakat bahwa anak-anak harus dilindungi. Tapi perlindungan bukan berarti pemanjaan. Ada perbedaan besar antara mencintai anak dengan memuja anak. Yang satu menumbuhkan, yang lain merusak.
Ketika orang tua menuntut ustadz karena menegur anaknya, sebenarnya mereka sedang memberi pesan tidak langsung kepada anak: “Kamu tidak boleh disentuh. Kamu selalu benar. Dunia harus menyesuaikan kamu.” Pesan semacam ini sangat berbahaya. Anak akan tumbuh tanpa rasa tanggung jawab. Mereka akan mudah menyalahkan orang lain. Mereka akan menghindari koreksi dan anti kritik.
Dan ketika mereka dewasa, mereka akan menjadi manusia-manusia rapuh yang merasa dunia harus tunduk pada egonya. Bukankah ini gejala dari generasi yang kita sebut “strawberry”?