"Aku juga pernah!" kataku sambil mengangkat tangan. "Aku pernah cerita panjang lebar tentang kejelekan seorang teman, eh... ternyata dia berdiri di belakangku. Wajahku langsung panas dingin kayak termos bocor! Untungnya dia cuma tersenyum kecut. Aku langsung putar balik omongan: 'Eh... tapi itu bukan kamu sih, cuma mirip banget'."
Tawa semakin ramai. Perut kami sampai keram menahan geli.
Pak Warno tak ingin ketinggalan. Ia menyela sambil menggaruk kepala. "Aku mah pernah ninggalin istriku di mall. Kupikir dia udah naik ke motor, jadi langsung gas pulang. Sampai rumah, eh, gak ada! Kupikir udah nyampe duluan. Ternyata dia masih di mall nungguin aku sambil nelpon berkali-kali!"
"Waduh!" sorak kami serempak.
"Yang lebih parah," lanjut Pak Purba lagi, "aku pernah isi bensin motor Vario keyless, tapi lupa kuncinya dibawa istri pulang duluan. Setelah isi, motor gak bisa dinyalain. Bingung, malu, akhirnya aku dorong tuh motor sampai rumah! Orang-orang lihat heran, 'Kok motor baru mogok?' Malu banget rasanya."
Kami tertawa lagi, kali ini sampai air mata keluar. Tapi bukan hanya karena lucu, melainkan karena hangat. Di tengah malam yang sepi dan dingin, ada keceriaan yang mengalir di antara kami---obrolan sederhana yang menjahit kebersamaan.
Malam itu, aku merasa bersyukur tidak mudik. Karena di sini, di tengah RT 04, aku menemukan kehangatan seperti di kampung halaman sendiri.
Hari berikutnya aku pun menulis puisi untuk mengabadikan cerita kami.
Tawa Tengah Malam
Di bawah langit kampung yang berseri,
bintang bertabur, remang lampu menyepi,
kami duduk melingkar di pos kecil bersaksi,
tentang cerita malu yang jadi tawa tak henti.
Ada yang rangkul pelayan disangka anak,
ada yang nyaris jadi juara tapi salah langkah,
ada yang tinggalkan istri di mall gegabah,
ada pula yang dorong motor, karena lupa kunci entah.
Aku pun berkisah, malu tak terkira,
membicarakan orang, eh... dia ada di belakang sana,
kuputar lidah, kutarik kata,
berharap tawa menghapus luka.