Tawa Tengah Malam di RT 04Oleh: Widodo, S.Pd.
Malam itu langit tampak bersih tanpa awan. Bintang-bintang bertaburan di atas kampung kecil kami, RT 04. Di pos ronda yang mungil tapi bersahaja, kami berkumpul dalam suasana hangat khas malam libur Lebaran. Sebagian besar warga sedang mudik ke kampung halaman, sehingga tugas ronda malam jatuh kepada kami yang setia menjaga kampung --- atau lebih tepatnya, tidak kebagian tiket mudik.
Acara malam itu dibuka dengan karaokean. Suara Pak Darto yang falsnya melebihi nada alarm mobil justru membuat kami makin semangat bernyanyi. Setelah itu, kami duduk melingkar sambil menyeruput kopi dan makan gorengan yang disumbangkan Bu RT. Aku, guru SD yang sering dicandai karena belum juga menikah, ikut larut dalam obrolan.
"Ayo cerita yang lucu-lucu," ujar Pak Adi sambil mengusap perutnya yang kenyang, "cerita yang bikin malu juga boleh, asal jangan malu-maluin!"
Kami tertawa.
Pak Adi membuka sesi cerita dengan gaya dramatis. "Suatu ketika, saya baru saja turun dari mobil bersama keluarga. Di parkiran warung makan, saya rangkul anak saya yang berbaju hijau---niatnya minta anter ke toilet. Eh, saya heran kok dia diam saja. Pas saya tengok, loh... itu bukan anak saya, itu pelayan warung!"
Tawa pun meledak di udara malam. Aku nyaris menyemburkan kopi dari mulutku.
"Wah, Pak Adi bisa-bisanya, nggak lihat dulu mukanya?" goda Pak Purba.
Pak Purba pun tak mau kalah. Ia bercerita tentang insiden lomba karaoke tingkat kecamatan.
"Saya duduk santai di bangku penonton, tahu-tahu nama saya dipanggil jadi juara. Dengan percaya diri saya maju ke panggung, lambaikan tangan segala. Ternyata itu Purba yang lain!" serunya. "Waktu disuruh turun lagi, saya pura-pura pegang perut, bilang sakit perut biar gak kelihatan malu!"
Kami pun terpingkal-pingkal.