Oleh: Widodo, S.Pd
Malam itu langit bersih. Lampu-lampu kecil berpendar di sepanjang gang RT 07. Warga berduyun-duyun datang ke acara malam tujuh belasan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ada makan bersama, sambutan, dan renungan malam. Tapi tahun ini, suasananya terasa berbeda---lebih hangat, lebih akrab. Barangkali karena semuanya sedang butuh cerita, butuh tawa, dan butuh saling mendengar.
Pak RT membuka acara dengan pidato singkat, dilanjutkan oleh Pak Sekretaris RT yang memimpin doa. Hidangan pun tersaji: nasi, sayur lodeh, ayam goreng, dan ikan kembung yang wanginya menggoda. Semua duduk lesehan di sepanjang gang yang telah ditutup aksesnya. Di tengah senda gurau dan gurauan ringan, aku berjumpa dengan Mas Nur---sosok jangkung berambut gondrong yang dikenal sebagai preman penjaga tanah kosong.
"Gimana kabar, Mas?" tanyaku sambil menyodorkan gelas teh.
"Masih hidup. Masih bisa ngopi," jawabnya santai. Tawa kami pun pecah.
Mas Nur, meski dikenal garang, ternyata pandai bercerita. Ia kisahkan pertemuannya dengan preman pasar, tukang pukul, bahkan orang misterius saat pernah jadi kernet bus lintas Sumatera.
"Aku pernah ditodong di tengah hutan Lampung, Mas. Tapi kupelototin saja matanya. Akhirnya dia yang mundur," ujarnya membusungkan dada.
Tiba-tiba, seekor kecoak terbang dari arah warung. Tanpa aba-aba, kecoak itu mendarat mulus di leher Mas Nur. Yang terjadi berikutnya sungguh mengejutkan: Mas Nur berteriak histeris dan meloncat mundur.
"AAAH!! Kecoaaak!!"
Gelas teh tumpah, lauk berserakan.
"Preman kok takut kecoak?" celetuk Bu Yani sambil tertawa terpingkal-pingkal.
"Bukan takut, Bu. Geli!" kilah Mas Nur cepat.
"Sama saja itu, Mas!" balas Pak Ustad, tertawa sampai harus menyeka air mata.
Obrolan malam itu pun berubah arah. Semua mendadak ingin mengaku ketakutan masing-masing.
Aku mengangkat tangan. "Kalau saya... takut naik wahana tinggi. Jet coaster saja masih tahan. Tapi waktu naik simulator pesawat ulang alik di Jungle Land---astaga, rasanya kayak nyawa ditarik dari ubun-ubun. Mau teriak, suara nggak keluar. Air mata ngalir sendiri. Malunya minta ampun!"
Tawa warga makin pecah.
Giliran Bu Azizah bercerita. "Saya mah takut ular. Lihat gambarnya aja di HP bisa histeris. Mending lihat hantu!"
"Lho, saya malah sebaliknya," sela Pak Rudi, "denger cerita hantu kepala buntung aja saya merinding. Konon katanya bisa nyedot darah manusia. Kayak vampir Jawa!"
Cerita horor pun mengalir seperti sungai deras. Ada yang pernah merasa ditarik di kamar mandi, melihat bayangan hitam di dapur, atau mendengar suara langkah padahal rumah kosong. Tapi bukannya membuat suasana suram, malah penuh gelak tawa.
Menjelang pukul sembilan, acara dilanjutkan dengan renungan malam. Para tokoh agama memimpin doa bersama. Kata Pak Ustad dalam petuahnya, "Takut itu manusiawi. Tapi jangan sampai kita dikuasai oleh rasa takut. Seperti para pahlawan dulu, mereka pun takut. Tapi mereka memilih berani. Keberanian bukan tidak punya rasa takut, tapi memilih bertindak meski takut."
Aku mengangguk pelan. Malam itu, aku merasa diteguhkan. Bahwa rasa takut bisa dikelola, bisa ditertawakan, bahkan bisa disiasati.
Seperti kata jurus pamungkas Mas Nur yang sempat ia bisikkan padaku tadi, "Kalau nggak bisa dilawan, jurus Mustika saja."
"Mustika? Apa itu?" tanyaku heran.
"Musti kabur..."
Dan kami pun tertawa bersama, di malam kemerdekaan yang sederhana tapi bermakna. Di tengah gang kecil, di antara nasi ayam dan ikan goreng, kami menemukan satu hal: bahwa takut itu bukan kelemahan. Tapi bagian dari jadi manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI