Pada akhirnya, kesadaran untuk bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarga menjadi kunci yang mendorong produktivitas di bulan Ramadan.
Kaki-kaki melangkah bergegas untuk berpindah lantai di Stasiun Manggarai. Senin pagi itu, adalah hari kerja pertama di bulan Ramadan tahun ini, tapi seolah tak ada bedanya dengan hari-hari lainnya.
Tetap banyak orang berlarian karena takut tak terbawa kereta. Demikian pula orang-orang perkasa yang membawa barang bawaan berat tapi terlihat lincah menerobos setiap celah.
Para pekerja yang berasal dari Bogor, Depok, Bekasi dan sekitarnya, mengandalkan moda transportasi KRL Commuter Line untuk berangkat dan pulang kerja. Kepadatan penumpang tak menyurutkan mereka, saling desak antarpenumpang jadi hal yang biasa.
Terkadang memang tak ada pilihan lain, karena mencari nafkah menjadi tujuan utama. Kereta listrik menawarkan ongkos lebih murah dan lebih cepat ke tujuan dibandingkan harus bermacet-macetan di jalan.
Beragam profesi dan latar belakang para penumpang itu. Ada pekerja di kantor swasta, pegawai negeri, pegawai BUMN, pedagang, petugas keamanan, cleaning service, penjaga toko, wartawan, teknisi, hingga debt collector bahkan calo segala urusan.
Mereka tiap hari menyambangi Jakarta demi "sesuap nasi" dan "sebongkah berlian". Untuk itu mereka dipaksa dan terpaksa tetap sehat dan produktif setiap saat, termasuk di bulan Ramadan sekalipun.
Mereka harus selalu kuat, atau mungkin dikuat-kuatkan untuk bisa sampai ke tempat kerja. Ketika di jalan mereka menguras fisik, tiba di tempat kerja pun tetap dituntut berkinerja prima.
Itu secuil gambaran bagaimana orang-orang tetap berjibaku di kereta listrik, tanpa harus melemah karena puasa di bulan Ramadan.
Ketika saya melangkah keluar dari Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, ada beberapa lelaki menawarkan jasa ojek kepada para penumpang yang keluar dari stasiun. Mereka tidak memaksa, dan kerapkali ada penolakan dari mereka yang ditawari.