Jogja dan kemacetan seolah menjadi dua frasa yang kian erat bersanding. Terlebih di musim libur lebaran seperti ini.
Jogja tak hanya menjadi pelampiasan kangen para pemudik. Bahkan bagi yang mudiknya bukan ke Jogja, bakal dengan senang hati menyempatkan diri singgah ke kota ini.
Seperti saya yang mudiknya ke Temanggung, Jawa Tengah. Merasa rela melakukan perjalanan darat 2,5 jam ke Jogja yang beda provinsi, kemudian jalan-jalan sejenak, hingga berakhir lanjut perjalanan menggunakan kereta menuju balik ke Jakarta.
Namun, ada satu hal yang menjadi pengganjal, yaitu kemacetan itu tadi. Geliat wisata di Jogja dan sekitarnya memang berimplikasi pada tingkat kemacetan. Tapi kemacetan itu sendiri yang justru bisa menghambat orang untuk berwisata di Jogja.
Seolah kemacetan Jakarta pindah ke Jogja, karena kendaraan berplat nomor B sangat mudah dijumpai di tengah kemacetan Jogja di libur lebaran seperti ini.
Saya dan keluarga terpaksa memangkas rencana mampir ke sini dan ke sana di area Jogja karena kemacetan yang ampun-ampunan. Dari rencana singgah ke 3 destinasi, hanya 1 yang bisa terwujud, itupun hanya sejenak.
Sabtu, 13 April 2024, siang menuju sore di Kota Jogja, hampir semua ruas jalan raya berwarna merah di aplikasi Google Maps. Pertanda kemacetan yang tiada ampun.
Bahkan, terasa susah mengharapkan kehadiran taksi online yang saya cari berulang kali melalui aplikasi warna ijo dan aplikasi pesaingnya yang juga berwarna ijo.
Ketika sempat "nyangkut" ke salah satu driver, tanpa basa-basi ia pun mengirim pesan singkat yang intinya enggan menerima orderan dari saya.