Salah satu kunci keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah dukungan nyata dan peran orang tua dalam pendidikan anak. Orang tua diharapkan mampu berperan sebagai pendamping sekaligus teman belajar anak.
Sebuah konsep yang menarik, dan jauh sebelum Kurikulum Merdeka diluncurkan, saya sebagai orang tua telah berusaha memahami sebuah kalimat sakti, yaitu "sekolah bukanlah tempat penitipan anak."
Kalimat tersebut memiliki makna bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah. Ketika orang tua memutuskan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tertentu, bukan berarti lepas sudah kewajiban orang tua untuk mendampingi serta membimbing anaknya belajar.
Siang itu, beberapa tahun yang lalu, saya bersama istri menepati janji untuk menghadiri undangan dari pihak sekolah dasar tempat kami mendaftarkan anak sulung kami. Bisa dikatakan momen itu adalah sesi wawancara untuk menjajaki komitmen orang tua terhadap pendidikan anak.
Kok bukan si anak saja yang dites, seperti calistung atau semacam psikotes yang umum dilakukan oleh sekolah-sekolah lainnya?
"Bagi kami yang penting Ayah dan Bunda memiliki komitmen untuk ikut terlibat dalam pendidikan ananda. Mampu mendukung belajar ananda, termasuk terlibat dalam komunitas orang tua yang nantinya diharapkan aktif mendukung jika sekolah memang perlu peran serta orang tua," kalimat dari pihak sekolah tersebut benar-benar kami resapi sebagai calon orang tua siswa baru.
"Kami sangat senang Ayah juga datang dalam kesempatan ini, karena menunjukkan bahwa kedua orang tua memiliki kepedulian yang sama terkait pendidikan anaknya."
Dari kalimat tersebut bisa dimaknai bahwa pihak sekolah sangat menghargai keterlibatan kedua orang tua dalam pendidikan. Hal ini didasari kerap terjadinya fenomena bahwa urusan sekolah atau pendidikan biasanya diserahkan pada ibu-ibu saja, sedangkan ayahnya fokus bekerja mencari nafkah.
Ketidakhadiran ayah dalam sesi wawancara awal tanpa alasan jelas di sekolah tersebut bisa diartikan sebagai kurangnya dukungan penuh orang tua. Padahal pendidikan anak tidak boleh saling lempar tanggung jawab.
Hingga berjalannya waktu, anak kami bersekolah dengan baik di tempat itu. Kurikulum tetap mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku saat itu, tetapi ada beberapa hal yang disandingkan dengan pembelajaran sesuai dengan karakter, kebutuhan belajar dan minat siswa.