Tak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi secara perlahan menggerogoti perekonomian negara, menghancurkan mata pencaharian masyarakat, memisahkan jarak, hingga menimbulkan saling debat dan saling caci antar masyarakat.
Entah sampai kapan situasi tak menentu seperti sekarang ini. Bahkan rasanya lebih ruwet dibandingkan krisis ekonomi 1998 silam. Waktu itu rakyat masih bisa hidup dengan makan ala kadarnya, sekarang bahkan ditambah ancaman nyawa yang bisa sewaktu-waktu terenggut jika kita abai dan tidak disiplin dalam menjaga kesehatan.
Sekarang, kita bahkan sulit membedakan ekonomi itu kawan atau lawan. Kalau kawan, kenapa juga pusat-pusat perekonomian seperti mal dan pasar ketika kita datangi malah bisa menjadi sumber penularan virus? Kalau ekonomi adalah lawan kita, kenapa saat ini kita begitu merindukannya dapat mengentaskan kita dari segala kesulitan?
---
Momen Hari Kebangkitan Nasional semestinya pas dikumandangkan dalam era serba ketidakpastian sekarang ini. Jika beberapa waktu lalu muncul istilah "the new normal", kenapa sekarang tidak ada istilah "the new kebangkitan nasional" atau "kebangkitan nasional versi 2.0".
Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, Hari Kebangkitan Nasional seolah menjadi sekedar pemanis kalender saja. Paling banter hanya berupa seremoni di lapangan upacara dengan sambutan yang bahasanya sangat birokratis dan sukar dipahami masyarakat kebanyakan.
Jangankan masyarakat, wong yang ikut upacara di lapangan saja palingan juga sudah nggak sabar segera ngadem di ruangan ber-AC kok. Ngaku deh.
Ya susah memang mau bangkit, kalau kita masih cuek bebek dengan keadaan sekitar. Tanpa kesadaran bahwa kita sedang dalam posisi terancam, ya gimana mau bangkit? Corona saja diabaikan, dianggap fiksi kali ya? Trus mau bangkit dari mananya coba?
Susah payah kami-kami ini yang mengurung diri di rumah saja sejak hampir tiga bulan ini. Lebih kepayahan lagi para tenaga medis yang berjuang di garda depan. Eh, kok nyatanya masih banyak yang menyepelekan.
Saya bukannya pesimis, tapi realistis. Sepanjang tidak ada gebrakan masif yang mengajak masyarakat untuk menjiwai Kebangkitan Nasional, mungkin kita tetap akan gitu-gitu aja. Jauh dari kata kompak, karena masing-masing merasa punya cara dan pembenaran untuk menyelamatkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Kebangkitan Nasional pada akhirnya hanya berujung pada angan-angan di atas kertas (dan spanduk ding...).
---