Mohon tunggu...
Widi Handoyo
Widi Handoyo Mohon Tunggu... -

Migunani tumprap ing liyan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Tuhan Tidak Beragama, Sebuah Perjalanan (1)

25 Oktober 2011   16:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:31 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam persepsi saya sejak kecil, Tuhan itu adalah sesuatu yang maha segalanya. Luar biasa dan punya kekuatan yang ajaib, layaknya seperti superhero di serial TV yang bisa membasmi monster monster yang menyerang bumi. Pokoknya super deh...

Kemudian masuk ke ranah remaja dan mulai mengenal kepercayaan serta agama punya teman, yang berbeda dengan punya saya. Kok aneh  yah. Pertanyaan pertama yang timbul adalah kalau Tuhan itu satu, kok banyak agama? Kenapa masing-masing mengklaim tuhannya paling benar. Paling hebat deh... Waktu remaja itu saya masih belum mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ah mungkin benar pelajaran sejarah, jaman dahulu ada istiadat dan kepercayaan berbeda-beda sehingga mengakibatkan perbedaan cara menyembah Tuhan...

Memasuki masa kuliah lebih aneh lagi. Banyak teman saya yang mendadak (dangdut) berubah jadi fanatik. Pokoknya semua serba oke deh kalau berurusan dengan yang namanya kepercayaan dan agama. Sampai sampai kuliah, kewajiban kewajian yang seharusnya dijalani sebagai mahasiswa ditinggalkan begitu saja. Beberapa pembenaran muncul, arhgh.. mumpung masih muda..saatnya mencari jati diri dan menggali keyakinan lebih dalam... pusing waktu itu.. ikut sana ikut sini.. tidak tahu apa sih sebenarnya yang dicari dari sebuah keyakinan akan adanya Tuhan. Frasa yang agung, mewah dan megah itu...

Masa kuliah ini pula yang membantu saya, mendapatkan berbagai persepsi mengenai pandangan terhadap frasa Tuhan. Apa itu? Mengapa ada ini ada itu, mengapa ada yang tidak percaya, mengapa ada yang percaya bahkan sampai fanatik?

Dalam beberapa kesempatan saya bertanya pada teman saya mengenai definisi Tuhan menurut mereka. Jawaban yang keluar beragam, dan membuat semakin pusing. Bukan jawaban yang ideal yang saya harapkan, namun lebih menjadi sebuah curhatan. Pengalaman masing-masing individu terhadap frasa Tuhan dalam hidupnya.

Sebagai informasi saja, saya tidak akan menyebutkan agama apa dan kepercayaan mana dalam tulisan ini. Namun tetap akan saya paparkan bagaimana paradigma saya menyikapi sebenarnya, apa sih frasa Tuhan? Mengapa banyak agama dan kepercayaan? Toh kalau boleh jujur, sudah adakah yang pernah langsung head to head bertanya pada Tuhan, hey Tuhan, apa sih agamamu? kasih tahu donk....??? Pernah? Saya rasa belum ada satupun yang pernah.

Lantas, apa yang menjadi topik disini? Bukan esensi bagaimana kita menyembah atau bagaimana kita berfilosofi mengenai frasa Tuhan menurut agama A, B, C atau D. Namun bagaimana kita memandang Frasa Tuhan, yang secara megah dan agung itu dipuja dalam berbagai bentuk.

Salah satu novel yang saya sangat senangi adalah Eat, Pray, Love. Pernah membacanya? atau menonton filmnya? Ada salah satu adegan yang menerangkan bahwa si Liz sedang berada di India, berjibaku dengan pencarian hidupnya. Bergulat dengan keyakinannya. Di sebuah biara di India. Juga perjalanannya di Bali. Tentu bukan sisi novelnya yang ingin saya angkat, namun bagaimana pandangan terhadap frasa Tuhan itu.

Karena Tuhan itu adikodrati. Tidak tersentuh, dan jauh dari jangkauan ilmu dan pengetahuan kita. Maka kita mendefinisikannya menurut kodrat kita. Nah... ini yang bagi saya menarik. Pendefinisian adikodrati menjadi kodrati dan readable ini menurut saya membantu menjadi andil dalam konstruksi framework sebuah agama atau kepercayaan tertentu.

Dan itu sangat historis-cultural. Coba lihat mana yang tidak bermula dari historis-cultural? Tidak ada. Bahkan atheisme pun bermulai dari historis-cultural sciences dan pengetahuan yang meninggalkan campur tangan adikodrati tersebut.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana sebuah peng-kodrati-an sesuatu adikodrati itu menjadi bermasalah dan bahkan meninggalkan esensi adikodrati sendiri? Sampai-sampai yang mempunya Frasa "Tuhan" sendiri bingung, sebenarnya Dia itu apa sih agamanya? akan ditulis kemudian di next-chapter berikutnya....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun