Saat ini, kita hidup di zaman yang serba cepat dan penuh keunikan, termasuk soal bahasa. Coba saja kita lihat di media sosial, bahasa yang dipakai sekarang sudah jauh berbeda dengan bahasa yang dulu kita pelajari di sekolah. Banyak istilah baru, singkatan-singkatan, dan campuran antara bahasa Indonesia dan Inggris. Fenomena ini membuat bahasa jadi semakin hidup, tapi di sisi lain, juga bisa membingungkan.Â
Salah satu hal yang paling terlihat jelas adalah penggunaan bahasa gaul. Kata-kata seperti "kuy", " santuy", "gaskeun", dan sebagainya sudah menjadi makanan sehari-hari anak muda. Bahasa ini tumbuh dari sebuah kebiasaan mengobrol santai dan menjadi identitas Gen Z. Meski terkesan tidak sopan untuk sebagian orang, tapi kenyataannya, bahasa gaul membuat komunikasi menjadi lebih akrab dan ringan.
Selain bahasa gaul, sekarang juga sudah banyak terjadi campur kode dan alih kode. Maksudnya, orang-orang sering mengganti bahasa dalam satu kalimat, misalnya "Aku tuh bener-bener excited banget pas lagi sama dia. "Ini wajar, apalagi untuk yang terbiasa memakai dua bahasa. Tetapi kalau berlebihan banget, bisa-bisa kita lupa bagaimana cara bicara yang benar dalam satu bahasa yang utuh.
Kalau membahas tentang sastra, perkembangan zaman juga memberi pengaruh besar. Dulu, sastra identik sama dengan karya berat dan puitis. Tapi sekarang, ada yang namanya sastra digital puitis di Instagram, cerpen di Twitter, atau fanfiction di platform online. Sastra jadi lebih mudah diakses dan di tulis oleh siapa saja, bahkan dari HP juga bisa. Ini menjadi bukti bahwa sastra bisa di akses dengan mudah di jaman sekarang ini.
Tapi sayang sekali, bahasa daerah saat ini sudah kurang kedengaran, seperti lagu-lagu daerahnya jarang sekali mendengar lagu daerah, anak-anak muda sekarang lebih hafal lirik lagu viral daripada lagu daerahnya sendiri. Padahal bahasa daerah itu sangat unik, beragam, dan punya ceritanya masing-masing. Sayang sekali jika dilupakan karena di anggap kuno. Seharusnya ada cara supaya bahasa daerah tetap hidup, misalnya dengan mengadakan lomba menyanyi lagu-lagu daerah dan lain sebagainya.
Jadi intinya, perkembangan bahasa dan sastra dalam masyarakat itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, kita melihat banyak inovasi dan kreativitas. Tapi di sisi lain, kita juga ditantang untuk tetap menjaga akar budaya kita. Tidak salah jika pakai bahasa gaul atau menulis puisi di media sosial, tetapi kita juga harus tetap menghargai bahasa yang sudah menjadi bagian dari jati diri bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI