[caption id="attachment_90895" align="alignleft" width="283" caption="MASUK GOA: Saya saat akan memasuki mulut goa pertama."][/caption] WAKTU saya hanya lima jam berada di Pare, karena Senin (14/02/2011) pagi menjelang siang tiba di Stasiun Kediri, sore harinya sudah harus kembali ke Jakarta. Mengingat waktu yang sangat singkat itu, rugi rasanya kalau tidak sampai menelusuri Goa Surowono. Untuk menelusuri goa yang memiliki lima mulut goa yang saling berhubungan satuy sama lain itu, harus didampingi seorang pemandu. Adalah Mas Sakri, 29 tahun, yang menjadi pemandu 'ekspedisi' saya ke dalam goa. Tentu saja Mas Sakri membawa perlengkapan lampu senter meskipun dia juga sudah sangat hafal dengan lika-liku alur goa tersebut. Begitu masuk pintu pertama suasana langsung mencekam dan sedikit tegang. Lebar goa hanya sekitar 50 centimeter dengan ketinggian goa sekitar 2 meter. Sungai kecil dengan airnya yang bening mengalir di lantai goa yang berbentu cekung dengan ketinggian air sekitar 10 centimenter di atas mata kaki. Perlu sedikit hati-hati menapakkan kaki, karena bentuk dasar sungai yang cekung dan penuh dengan pasir dan kerikil. Uniknya, tak ada dinding batu sedikitpun di dalam goa selain hanya lapisan tanah. Selain itu, mengingat diperkirakan sudah ada sejak zaman Kerajaan Kediri, orang pada masa itu sudah mampu membuat goa dengan kelebaran dinding dan ketinggian yang sama rata. Tapi, hingga saat ini belum ada yang mengetahui seberapa ketebalan tanah di atas goa. Tapi kalau dilihat dari kedalaman pintu pertama dengan permukaan tanah ketebalannya bisa diperkirakan sekitar 7-10 meteran. "Sudah berumur ratusan tahun dinding tanah yang lembab ini, tapi kok tidak pernah runtuh, ya Mas?" tanyaku pada Mas Sakri. "Saya juga tidak tahu. Padahal, tepat di atas goa ini tanahnya juga digali untuk membangun pondasi rumah-rumah penduduk. Saya tidak tahu kok bisa begitu. Dinding goa ini sama sekali tidak ada penahan," kata pemandu Sambil menelusuri lorong goa, air jernih bercucuran dari dinding dan langit-langit goa sehingga membasahi baju saya. Kami terus berjalan perlahan menembus kegelapan sampai akhirnya Mas Sakri berhenti. "Ini ada cabang goa. Saya pernah telusuri goa ini, tapi ternyata buntu," kata Mas Sakri sambil menunjukkan goa yang ia maksud dengan sorotan cahaya lamput senternya. Perjalanan lalu kami dan lanjutkan dan tak berapa lama cahaya matahari sudah terlihat masuk ke dalam rongga goa, pertanda sudah dekat dengan mulut goa kedua. Setibanya di depan mulut goa kedua kami mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan masuk ke dalam lorong goa kedua. Berbeda dengan lorong pertama, yang kedua ketinggian goa lebih pendek, yaitu sekitar 1,50 meter sehingga kami harus berjalan merunduk. Kedalaman sungainya juga bertambah. Lorong goa kedua berhasil kami lewati meskipun lebih sulit dibanding lorong pertama. Di dalam lorong kedua juga terdapat beberapa cabang goa yang lebih banyak dibanding pertama. Lorong goa kedua juga lebih panjang dibandingkan pertama. Tapi, menurut penelusuran yang pernah dilakukan Mas Sakri, semua cabang goa itu berakhir dengan dinding tanah alis buntu. Akhirnya, kami sampai di depan mulut goa ketiga dengan nafas sedikit terengah-engah. Kami mengambil nafas lebih lama di depan mulut goa ketiga untuk mendapatkan oksigen lebih banyak, sebelum menelusuri lorong goa. Sebab, lorong ketiga menurut Mas Sakri lebih sulit, karena lorongnya lebih sempit dan semakin pendek. Ternyata benar, saya terpaksa berjalan setengah jongkok agar kepala tidak terbentur langit-langit goa. Kedalaman air juga bertambah sehingga langkah kaki menjadi lebih sulit. Bahkan, di bagian terakhir lorong goa saya harus berjalan duduk dengan ketinggian air sampai sedada. Tak pelak kami mulai kehabisan tenaga dan nafas saya tersengal-sengal saat keluar dari lorong goa ketiga. Saat menelusuri lorong tersebut, tenaga memang lebih terkuras karena harus berjalan setengah jongkong di dalam air sungai. Tetapi, syukurlah saya bisa keluar dari goa dengan selamat dengan membawa pengalaman yang menakjubkan. Belum pernah saya sebelumnya mengalami petualangan unik seperti ini. Tinggal tersisa dua lorong goa lagi untuk mencapai garis "finish". Tetapi, sebelum masuk ke lorong keempat Mas Sakri meminta saya menunggu sebentar, lalu ia mencoba masuk terlebih dulu sendirian. Tak selang berapa lama kepalanya menyembul dari dalam air di mulut goa. Kepalanya menggeleng dan mengatakan,"jangan mas... jangan diteruskan. Tidak mungkin bisa kita telusuri. Sangat berbahaya, karena beberapa hari terakhir Pare memang habis diguyur hujan." [caption id="attachment_90896" align="alignleft" width="283" caption="PENAMPAKAN: Makhluk halus memperlihatkan wujudnya secara jelas berupa wajah seorang kakek di ding batu sebelah kanan saya (dalam lingkaran hitam)"]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI