Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecintaan Presiden Sukarno pada Musik

9 Maret 2023   22:41 Diperbarui: 10 Maret 2023   14:11 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukarno menari dalam malam perpisahan atlit Asian Games IV di halaman Istana Merdeka. 5 September 1962. Sumber: ANRI, Kempen Jakarta No. AG-6494

Hari ini, 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional. Penetapan ini disamakan dengan hari lahir pahlawan nasional Wage Rudolf Soepratman yang kita kenal sebagai pencipta lagu Indonesia Raya. Peringatan Hari Musik Nasional, pertama kali dilakukan pada 2013 dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 10 Tahun 2013 tentang Hari Musik Nasional.

Dalam Keppres ini dijelaskan, bahwa musik adalah ekspresi budaya yang bersifat universal dan multi dimensional yang merepresentasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan serta memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional.

Penetapan Hari Musik Nasional, tidak terlepas juga dari sosok presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sangat mencintai musik. Terbukti ia sudah menghasilkan lima album dengan jumlah sekitar 40 lagu. 

Selain Presiden SBY, ternyata Presiden pertama RI, Sukarno juga sangat mencintai musik dan pernah menciptakan lagu.

Menyukai Lagu Keroncong

Presiden Sukarno dalam otobiografinya karya Cindy Adams Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menggambarkan dirinya sebagai maha pencinta. Ia mencintai negerinya, rakyatnya, wanita, dan seni. Sukarno juga sebagai manusia yang penuh perasaan. 

"Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas panjang apabila menyaksikan pemandangan yang indah. Jiwanja bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala menyanyikan lagu spirituil orang negro. Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah seorang seniman. Akan tetapi aku bersyukur kepada yang Maha Pencipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni."

Ketika Sukarno diasingkan di Ende, ia mengisi kegiatannya dengan membuat kelompok sandiwara. Terkait kecintaannya dengan musik, ia bahkan mengajarkan sendiri para anggota kelompok sandiwara untuk menyanyikan lagu keroncong. Lagu keroncong ini diperdengarkan ketika sandiwara memasuki masa istirahat. 

Menurut Sukarno, lagu keroncong dianggap sebagai lagu yang menggambarkan kegembiraan dan bernyanyi adalah kegiatan yang mengasyikan untuk melewati masa-masa yang suram ketika dalam masa pembuangan.

Terkait musik keroncong ada cerita menarik tentang kecintaan Sukarno pada musik ini.  Pada tahun 1965, Radio Republik Indonesia (RRI) menyelenggarakan perlombaan bernyanyi musik keroncong. Presiden Sukarno kemudian  memprotes kompetisi tersebut. Menurutnya para pemenang dan panitia tidak memahami keroncong itu sendiri.

Terus terang saja, sudah dua kali saya manggil ke Istana Bogor ini juara-juara kroncong, ada yang dapat hadiah pertama, tetapi dia sebetulnya tidak mengerti apa itu kroncong. Coba nyanyikan kroncong! Salah, bukan kroncong yang dinyanyikan. Apa sebabnya? Sebabnya karena RRI sendiri orang-orangnya tidak mengerti apa itu kroncong. Saya keras di dalam hal ini!

Menurut Presiden Sukarno, keroncong itu memiliki pakem-pakem khusus, ia bahkan sampai memberi contoh dengan papan tulis dan menulis menggunakan kapur contoh pakem-pakem dari keroncong.  Menariknya lagi, ada yang menyebutkan bahwa apa yang diajarkan Presiden Sukarno adalah keroncong kolot alias kuno. Dalam hal ini Sukarno pun membantah:

Lho tidak ada keroncong kolot, keroncong is keroncong. Saya kasih sama dia hukum keroncong itu begini ini. Bait yang pertama pantunnya, bait kedua, tebusan daripada pantun itu. Dia tidak mengerti. Dan kalau saya menerangkan hal demikian itu, dikatakan Bung Karno kolot! Tidak, saya tidak kolot, saya adalah orang di dalam lapangan seni pun modern. Tetapi modern berdiri di atas kepribadian. Bukan modern di atas jiplak-jiplakan. Yang sebenarnya jiplakan dari asing.

Musik Barat = Imperialisme Kebudayaan

Sukarno berpendapat bahwa penjajahan Belanda telah mengikis kepribadian bangsa Indonesia, termasuk memusnahkan kemampuan bangsa Indonesia yang pandai membuat lagu.

Dengan cepat kekuasaan asing menanamkan akar-akarnja. Mereka mengambil kekayaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah putera-puteri harapan bangsa dari suatu Bangsa yang besar yang pandai melukis, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari. Kami tidak lagi dikenal oleh dunia luar, kecuali oleh penghisap-penghisap dari Barat jang mencari kemewahan di Hindia.

Oleh karena itu menurut Presiden Sukarno musik dianggap  bagian dari revolusi. Revolusi yang multikompleks dan masuk dalam revolusi kebudayaan. Revolusi yang mengarah pada pembentukan manusia Indonesia baru. Menghancurkan kesenian yang berasal dari kolonialisme Belanda. 

Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita, Presiden Sukarno menentang musik ala Barat karena dianggap sebagai imperialisme kebudayaan, berikut potongan pidatonya:

Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, -- kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan?

Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock-'n-roll-rock-'n-rollan, dansa-dansian la cha-cha-cha, musik-musikan la ngak-ngik-ngk gila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi? Kenapa di kalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan?

Pemerintah akan melindungi kebudayaan Nasional, dan akan membantu berkembangnya kebudayaan Nasional, tetapi engkau pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan, dan melindungi serta mem-perkembangkan kebudayaan Nasional!

Dalam beberapa sumber, yang termasuk aliran musik "ngak ngik ngek" adalah grup musik asal Liverpool, Inggris The Beatles karena menurut Presiden Sukarno tidak cocok dengan kebudayaan Indonesia. Menurutnya, lagu-lagu mereka hedonis dan tidak sesuai dengan semangat kebangsaan. Selain itu Presiden Sukarno menilai lagu-lagu barat mempertontonkan kebudayaan negara-negara imperialis yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia. 

Dalam amanatnya kepada para Kader Wanita Marhaenis dan para seniman-seniwati Radio Republik Indonesia (RRI) di Istana Bogor, 17 September 1965, Presiden Sukarno meminta di dalam hal kebudayaan termasuk membuat lagu benar-benar berdiri di atas kepribadian Indonesia. 

kebudayaan pun berdikari, jangan kebudayaan jiplak-jiplakan, tiru-tiruan, emis-emisan dari luar negeri.

Lagunya lagu jiplakan atau kalau tidak jiplakan, mengeluarkan jiwa yang sama sekali bukan jiwa Indonesia, jiwa lembek, jiwa yang tidak memuaskan. Jiwa yang lain sekali dari pada apa yang dikatakan oleh Prof. P.J. Veth bahwa kita itu sebetulnya berjiwa harimau.

Membuat Lagu

Presiden Sukarno kemudian memikirkan bagaimana membangun ketahanan budaya bangsa melalui musik dan juga dapat digemari para kawula muda. Salah satunya adalah dengan menciptkan lagu sendiri dan menggambarkan kepribadian bangsa Indonesia.

Karena kesukaannya pada tarian lenso, sebuah tarian pergaulan tradisional asal Ambon, Presiden Sukarno kemudian menginginkan irama lenso menjadi sebuah lagu. Dilansir voi.id Presiden Sukarno mengundang musisi kenamaan tanah air Bing Slamet dan Jack Lesmana ke Istana untuk menggali irama lenso supaya dapat dinikmati luas. Maka lahirlah lagu berjudul "Bersuka Ria" karya Presiden Sukarno. Lagu ini kemudian dinyanyikan oleh Rita Zahareah, Nien Lesmana, Titiek Puspa, dan Bing Slamet  dengan pengiringnya orkes Irama pimpinan Jack Lesmana.

Lagu Bersuka Ria muncul dalam album kompilasi bertajuk Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso. Album itu dirilis secara resmi pada 14 April 1965. Presiden Sukarno sangat senang dan menyetujui  beredarnya album tersebut. Ia sampai membubuhkan tanda tangan cetak bertanggal 14 April 1965 di belakang album.

Album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lensosumber: voi.id
Album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lensosumber: voi.id

Lirik lagu ini menggambarkan kondisi sosial dan politik pada masa itu. Presiden Sukarno seolah-olah ingin menggambarkan kebahagiaan dan kegembiraan di tengah krisis ekonomi yang melanda. Berikut ini potongan liriknya

BERSUKA RIA

mari kita bergembira sukaria bersama 

hilangkan sedih dan duka mari nyanyi bersama 

lenyapkan duka lara bergembira semua 

lalalaalaa laaaa la mari bersuka ria 

 

siapa bilang bapak dari Blitar 

bapak kita dari prambanan 

siapa bilang rakyat kita lapar 

Indonesia banyak makanan 

 

mari kita bergembira sukaria bersama 

hilangkan sedih dan duka mari nyanyi bersama 

lenyapkan duka lara bergembira semua 

lalalaa lalala lalaaaala mari bersuka ria 

 

tukang sayur nama si salim 

menjualnya ke jalan lembang 

Indonesia anti nekolim 

para seniman turut berjuang 


Sumber Arsip:

  • Pidato presiden tentang penemuan kembali revolusi kita. ANRI, Daftar Arsip Pidato Sukarno 1958-1967 No. 100 
  • Pidato presiden pada para kader wanita Marhaenis dan para seniman seniwati radio Republik Indonesia, Daftar Arsip Pidato Sukarno 1958-1967 No. 802 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun