Mohon tunggu...
Widhi Satya
Widhi Satya Mohon Tunggu... -

[nihil]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paradoks Kopiah

5 Mei 2010   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:24 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Ayo Wak Aji! Bisa jelasin nggak?"

***

Wak Aji. Begitu dosenku biasa menyebutku. Dosen sekaligus dekan di fakultasku. Mungkin dia tak tahu nama asliku. Baginya, aku bukanlah Widhi Satya. Aku adalah "Wak Aji"

***

Belakangan kutahu, nickname yang diberikannya, (karena aku satu-satunya mahasiswa yang mengenakan kopiah di kelas) ternyata berasal dari bahasa Betawi. Di Betawi, karena dialek serta logat mereka, panggilan yang sehari-hari kita sapa dengan Pak Haji, berubah bunyinya, hingga akhirnya orang-orang Betawi pun menyebut dengan "Wak Aji". Aneh memang. Ternyata, bukan nama lah yang menjadi ‘identitas'ku di matanya. Tapi... Kopiah. [caption id="attachment_133575" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar : Dreamstime.com"][/caption]

***


Darimana dan kapan kopiah ditemukan? Siapa yang mempopulerkan? Dan siapa pemakai terbanyaknya? Itu tak penting. Sejarah bukan bidang ilmu favoritku.

***

Yang menjadi fokus perhatianku adalah bahwa sekarang ini, kopiah sering dikenakan untuk menunjukkan identitas "aku muslim, dan aku alim". Begitu sakralnya kopiah. Hingga tak afdhol jika mengaku alim tapi tak mengenakan kopiah. Cukup dengan mengenakan kopiah, orang akan yakin bahwa ‘Beliau' ustadz. Kalau begitu, jangan-jangan tukang satai juga ustadz? Cukup dengan mengenakan kopiah juga, terdakwa seolah telah menyatakan penyesalan dan pertaubatan dari segala kesalahannya. Perlukah ditambahkan dalam undang-undang, "remisi diberikan kepada terdakwa yang mengenakan kopiah dalam persidangan". Cukup dengan mengenakan kopiah juga, pejabat legislatif maupun eksekutif bersama para pembantunya, dilantik serta disumpah akan loyalitas serta dedikasi mereka kepada negara. Perlukah KPK menerapkan standar baru, bahwa pejabat berkopiah adalah pejabat bersih?

***

Sudahkah kopiah kehilangan identitas dan hakikatnya? Sudahkah kesuciannya terkebiri hati-hati riya' pemakainya? Semoga belum... Mungkin cuma syak wasangka serta suudzonku belaka..

***

Dibalik semua identitas, serta trademark budaya tentang kopiah di masyarakat. Terdapat sebuah esensi khusus yang melatarbelakangi pemakaian kopiah bagi seorang muslim (bukan muslimah). "Sujud dengan tujuh anggota badan dan dilarang menutup dahi dengan rambut dan pakaian." (H.R. Muslim) Artinya, kopiah pada dasarnya adalah sebuah penutup yang digunakan untuk menghalangi jatuhnya rambut ke dahi, hingga dapat menghalangi dahi dengan tempat sujud dan dapat membatalkan sujud. (Jika sujudnya batal, otomatis shalatnya juga...) Simple-nya, kopiah, pada dasarnya adalah alat bantu yang dikenakan dengan harapan terpenuhinya syarat sahnya sujud.

***

Adalah paradoks, jika sebuah simbol ketundukan, kesadaran akan kecilnya diri dihadapan Ilahi, betapa kepala yang begitu ‘terhormat', kita sejajarkan dengan mata kaki di posisi terendah... Kemudian dikenakan, sebagai simbol ke'aliman', dikotori dengan hati riya' karena terlalu bangga atau ingin berlindung dibalik kedok "aku muslim, dan aku alim".

***

Offline Note Bukan kopiah ataupun pemakaian kopiahlah yang ingin kuributkan. Tapi esensinya. Kita terlalu sering disibukkan dengan ‘penampilan luar' dan kadang melupakan apa sebenarnya makna yang terkandung di dalamnya... Tawadhu' Penulis juga suka mengenakan kopiah. Apakah juga termasuk riya'? Wallahua'lam bisshowab...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun