Mohon tunggu...
Inovasi

Bagaimana Manusia Seharusnya Menyikapi Dunia

23 Februari 2017   13:05 Diperbarui: 23 Februari 2017   13:08 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Disarikan dari ceramah Ustadz Sigit Yulianto dalam Mata Air (Senin, 2 April 2012).

Manusia  dalam menyikapi dunia dibagi ke dalam 3 (tiga) tipe :

Manusia yang berorientasi sepenuhnya kepada dunia. Surga dan Neraka adalah surga dan neraka yang dipandang ketika dirinya hidup di dunia. Ketika seseorang berada dalam kemewahan, berpangkat tinggi, kaya raya maka itulah yang dianggapnya sebagai surga, dan ketika seseorang berada dalam kemiskinan, kesengsaraan, dan kesusahan maka itulah yang kemudian dianggapnya sebagai neraka. Manusia yang bertipe ini dicirikan dengan segala tingkah lakunya berorientasi pada kenikmatan dunia semata.

Manusia yang menjalankan ibadah, tetapi ibadah itu dilakukan demi kepentingan dunia. Misalnya ia menjalankan ibadah hanya demi sebuah pengakuan dari masyarakat. Manusia tipe ini tetap melakukan kewajibannya untuk beribadah, tetapi muatan doanya adalah untuk kenikmatan dunia, bukan untuk kenikmatan akhirat. Jadi ibadah yang dilakukannya tidak dinilai dari kualitasnya, tetapi penilaiannya hanyalah sebatas untuk melakukannya saja (formalistik belaka).

Dalam Surat Asy-Syuraa ayat 20 disebutkan:

“Siapa yang dengan amalnya mengharap pahala akhirat, Kami akan tambahkan pahala baginya. Tetapi yang memilih kesenangan dunia, Kami berikan sedikit darinya, di akhirat ia tidak akan mendapatkan sesuatu.”

Manusia yang hanya beribadah untuk urusan duniawiyah, maka Allah tidak akan sekali-kali memberikannya kenikmatan di akherat. Jadi manusia tipe ini bisa saja permintaannya dikabulkan oleh Allah SWT, tetapi dia tidak akan diberikan kenikmatan akherat.

Manusia yang menjadikan dunia sebagai sawah ladangnya akhirat. Segala sikap, tingkap laku, dan perbuatannya adalah demi kenikmatan akhirat. Atau dengan kata lain, dunia adalah sebagai investasi akhirat. Sebagaimana pula para petani yang menjadikan ladangnya sebagai tempat untuk menuai hasilnya pada waktu panen nanti. Sebagai contoh misalnya, ulama Islam yaitu Imam Abu Hanifah adalah seorang pegadang kaya yang sukses, tetapi ia menjadikan kekayaan itu sebagai media untuk mendapatkan ke-ridho-an Allah SWT di akhirat. Misalnya dengan bersedekah.

Di jaman sekarang ini, manusia cenderung berada pada tipe yang kedua. Dimana ibadah bukanlah merupakan suatu kebutuhan, tetapi masih menjadikan ibadah sebagai suatu kewajiban. Sehingga kualitas dari pelaksanaan ibadah itu menjadi dikesampingkan. Ibadah hanya dilakukan semata-mata untuk mendapatkan predikat (pandangan) dari orang lain.

Padahal, dimata manusia (lainnya) seseorang tidak akan pernah dinilai baik secara hakiki karena penilaian dari sesama manusia yang hanya didasarkan pada kemampuan panca indera yang dimilikinya. Berbeda dengan penilaian dari Allah SWT yang menilai seseorang itu dari lebih dari apa yang bisa dijangkau oleh manusia. Ilustrasi itu dapat kita cermati dari cerita berikut :

Ada seorang ayah yang sedang berpergian bersama dengan anaknya menggunakan keledai, dan membawa barang bawaan yang berat. Ayahnya berkata, agar anaknya saja yang naik ke atas kedelai berikut dengan barang bawaannya. Ketika diperjalanan, ada seseorang yang berkata.“Kok anaknya gak punya sopan santun dengan orang tua ya?, dia enak-enakan naik keledai sedangkan ayahnya disuruh jalan.”

Karena merasa apa yang dilakukannya salah, kemudian sang ayah memutuskan untuk mengganti posisinya : Sang ayah naik di atas keledai, kemudian si anak tersebut disuruh jalan.Diperjalanan mereka bertemu dengan seseorang lagi dan berkomentar, “Kok ada ya, ayah yang ga tau diri. Dia enak-enakan naik keledai, sedangkan anaknya disuruh jalan kaki.”

Dikomentari seperti itu kemudian ayahnya merasa emosi, kemudian, “Ya sudahlah kita sama-sama naik biar ga ada lagi yang berkemontar.”Eh ternyata, masih ada juga yang komentar “Kok ada ya, orang-orang yang ga punya rasa belas kasihan sama hewan. Keledai yang kurus seperti itu, masih dinaiki 2 orang (ayah dan anaknya) berikut dengan barang bawaan yang berat.”

Saking bingungnya mendengarkan komentar-komentar tersebut, kemudian ayahnya pasrah. Dan memutuskan ia dan anaknya berjalan bersama keledainya.Dalam perjalanan, ternyata pun masih ada juga seseorang yang berkomentar.“Kok ada ya, orang yang bodoh seperti itu. Tau ada keledai kok ga dimanfaatkan, malah repot-repot jalan kaki sambil nenteng barang.”

Jadi, ketika manusia hanya berorientasi pada penilaian sesama manusia, bukan penilaian dari Allah SWT. Maka tidak akan ada habisnya. Karena di dunia tidak ada kebenaran yang hakiki. Jadi, manusia seharusnya dalam menyikapi dunia : “Kita tidak mungkin anti dunia, karena kita hidup di dunia, tetapi jadikanlah dunia ini sebagai sawah ladangnya akhirat.”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun