Mohon tunggu...
Humaniora

Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Indonesia

19 Februari 2017   15:31 Diperbarui: 19 Februari 2017   15:48 18428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hak asasi manusia merupakan hak yang secara hakiki dimiliki oleh manusia karena martabatnya sebagai manusia yang dimilikinya sejak lahir. Pada dasarnya, hak asasi manusia itu  merupakan hak yang inherent dimiliki oleh setiap manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan begitu hak asasi manusia dimiliki oleh siapapun, tidak terkecuali oleh anak. Bahkan di dalam terminologi hukum perdata, hak keperdataan seseorang itu telah diakui semenjak ia masih berada dalam kandungan.[1]

Mendasarkan pada pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri, berarti juga meliputi jaminan perlindungan atas hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights), yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan lain sebagainya.

Dalam konteks Indonesia, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang demikian itu tidak lain merupakan konsekuensi dari corak negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah menggariskan bahwa negara Indonesia adalah Negara hukum. Dalam penjelasannya dengan tegas disebutkan bahwa, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat) tidak atas kekuasaan belaka (machtstaat).” Ketentuan tersebut, mengandung arti bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Sebagaimana yang dipahami;[2]

“Bahwa syarat-syarat rechtstaat utamanya terdiri dari: (1) Asas legalitas, yaitu setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan; (2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan; (3) Hak-hak dasar, yaitu hak dasar merupakan sarana perlindungan hukum bagi rakyat, dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang-undang; (4) Tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah.

Demikian dapatlah dipahami bahwa di dalam negara hukum itu selain dianut asas legalitas[3] yang berarti bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan pada hukum, juga terdapat prinsip jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selaras dengan itu, Pembukaan UUD 1945 juga menggariskan bahwa segala bentuk penjajahan[4] di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Tinjauan secara historis maupun filosofis, munculnya pemikiran tentang negara hukum memang demikian erat kaitannya dengan negara berkonstitusi. Di dalam negara hukum, “konstitusi” memiliki kedudukan fundamental sebagai hukum tertinggi (supreme law) dan sekaligus hukum dasar (grondwet). Dengan hal itu, maka segala tindakan pemerintahan berikut juga tindakan warga negaranya harus diarahkan/tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam konstitusi. Oleh karenanya, ketidaktaatan dan/atau penyimpangan terhadap hal tersebut menyebabkan tindakannya itu dapat dinilai tidak konstitusional[5] (inkonstitusional), yang mempunyai dimensi pertanggungjawaban hukum.

Sri Soemantri dalam bukunya berjudul “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”menyatakan bahwa di dalam konstitusi setidaknya terdapat 3 (tiga) kelompok materi muatan yang diatur, yakni sebagai berikut:[6]

  • Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
  • Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan
  • Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
  • Adanya jaminan konstitusi terhadap hak asasi manusia (HAM) tersebut, berarti menunjukkan bahwa setiap penguasa dalam negara dilarang dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya, serta wajib menggambarkan adanya keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.

Lebih jauh dikatakan, bahwa masalah keadilan dan hak asasi manusia juga merupakan wujud pengejawantahan nilai-nilai Pancasila[7], sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat yang sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua Sila dari Pancasila tersebut seyogyanya menjadi acuan bagi para penegak hukum (sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang yudisial dalam kerangka penegakan hukum/law enforcement) dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, sehingga memenuhi rasa kemanusiaan yang adil dan beradab dan dapat mewujudkan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pancasila tersebut.

Pada Pembukaan UUD 1945 1945 alinea IV (empat) yang berbunyi, “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”, yang juga diatur dalam Pasal 28D (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, setidaknya merupakan landasan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan jaminan serta perlindungan hukum[8] atas hak-hak yang dimilikinya. Dalam makna ini berarti negara berkewajiban untuk memenuhi (to fullfil), menghormati (to respect), dan melindungi (to protect)hak-hak asasi setiap warga negaranya.


[1] Pasal 2 KUH Perdata; “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.”

[2] Topo Santoso, Polisi dan Jaksa : Keterpaduan atau Pergulatan,Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia (Centre for Indonesian Criminal Justice Studies), Depok, 2000, hlm. 1.

[3] Pemaknaan luas terhadap asas legalitas tidak hanya mendasarkan pada prinsip-prinsip rechtmatigheid, tetapi juga mencakup prinsip-prinsip doelmatigheid,yang berarti bahwa dalam rangka penegakan hukum (law enforcement) tidak hanya menegakkan hukum secara an-sich, akan tetapi lebih dari itu harus diarahkan sebesar-besarnya mewujudkan tujuan serta esensi dari hukum itu sendiri yakni ‘keadilan’.

[4] Penjajahan dalam makna yang lebih luas dapat diartikan sebagai segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasar manusia dalam berbagai bentuk pemanfaatan (eksploitasi) yang tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan.

[5] Konsepsi pemikiran yang menempatkan konstitusi sebagai hukum negara tertinggi (supreme law) inilah mendasari lahirnya ajaran tentang hak uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi; “Mahkamah konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”. Putusan Mahkamah konstitusi tersebut bersifat final and binding. Hal demikian setidaknya menyiratkan arti bahwa semua produk perundang-undangan tidak dibenarkan ketika menyimpangi/bertentangan dengan kontitusi.

[6] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,Alumni, Bandung, 1992,hlm. 47.

[7] Di dalam Penjelasan KUHAP juga disebutkan “Bahwa pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

[8] Negara berkewajiban untuk memenuhi (to fulfill), menghomati (to respect), dan melindungi (to protect) hak-hak warga negaranya sebagai bagian dari tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum dalam kerangka negara hukum kesejahteraan (welfare state).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun