Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Kita Perlu Peduli pada Masa Depan Perempuan dan Anak Rusun?

23 September 2016   21:40 Diperbarui: 23 September 2016   22:26 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Imam Buhori, merdeka.com

Ada 27 rumah susun (rusun) di Jakarta dan akan segera menyusul 57 rusun yang akan dibangun untuk  mengakomodasi kebutuhan tempat tinggal warga DKI Jakarta.

Kompleksitas Rumah Susun
Rumah susun (rumah susun) memungkinkan puluhan, bahkan ratusan keluarga tinggal di satu bangunan yang sama, berbagi keseharian dan berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan. Berbeda dengan apartemen yang dibanderol dengan harga yang cenderung diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas, rusunawa dan rusunami telah menjadi alternatif lokasi tempat tinggal vertikal yang dapat disewa dan dibeli dengan harga yang lebih terjangkau.

Berbeda lingkungan rusun, berbeda pula karakter masyarakat di lokasi padat huni. Lokasi padat huni Jakarta memiliki banyak anak gang yang beranak pinak, belum lagi jika ada sejumlah rumah yang menyewakan kamar kosan. Dengan demikian, penduduk pada lokasi padat hunian akan lebih sulit didata. Sementara itu, pintu rusun beserta isinya masih dapat dihitung. Walaupun ada kamar yang disewakan secara temporer, warga yang datang dan pergi masih dapat terdata dan terpantau. Pemantauan masih dapat dilakukan secara massif karena rusun dan fasilitasnya digunakan secara komunal, pun komunitasnya terintegrasi dan dikelola bersama-sama.

Keunggulan demografi warga rusun inilah yang membuat lingkungan rusun cocok untuk dijadikan lokasi berkarya oleh sejumlah universitas di Jabodetabek. UI, UNJ,  Universitas Sahid, dan UHAMKA adalah sedikit dari sekian banyak perguruan tinggi yang menaruh perhatian terhadap dinamika sosial yang terjadi di rusun. Sejumlah universitas tersebut menemukan fakta bahwa rusun adalah unit masyarakat yang menyimpan potensi, baik potensi yang sifatnya konstruktif maupun desktruktif.

Temuan Universitas UHAMKA di Rusun Marunda, misalnya. Dr. Sri Astuti memaparkan bahwa melimpahnya ketersediaan sarana dan prasarana yang diberikan oleh Gubernur DKI di Rusun Marunda bukanlah jaminan untuk masyarakat setempat dapat hidup tertib, terjamin secara finansial, berpendidikan, dan jauh dari tindak kriminalitas.* Hal tersebut disampaikan pada Hari Kamis (22/9) oleh dosen UHAMKA tersebut pada pertemuan ‘Sinergi Program dan Kegiatan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak’ yang difasilitasi oleh Deputi Partisipasi Publik dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).

Hal senada juga disampaikan pada kesempatan tersebut oleh Edward Soethardhio dari Psikologi Perkembangan UI dan Dr. Nurjanah dari Tim Pusat Studi Wanita dan Perlindungan Anak UNJ. Edward dari UI cenderung berkonsentrasi pada penanganan dan pemulihan perempuan dan anak korban kekerasan di berbagai lokasi Indonesia, sementara tim UNJ telah lama mengampu peningkatan kapasitas peran perempuan dalam keluarga di Rusun Pulo Gebang dan Cipinang Besar).

Rata-rata, tantangan yang dikemukakan oleh narasumber dari universitas adalah sulitnya mengubah mindset dan pola hidup warga rusun yang tadinya abai pada pengasuhan dan pemberdayaan keluarga. Minimnya pendidikan dan lemahnya kesejahteraan finansial menjadi akar masalah yang kemudian memicu kekerasan, pelecehan seksual, minimnya kontrol sosial, rendahnya kualitas pengasuhan anak, dan secara struktural mengunci warga di situasi miskin. Belum lagi pada beberapa kasus, perempuan-perempuan memilih untuk menjadi PSK dan buruh migran yang akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan dan pengasuhan anak yang terbengkalai. Semua masalah tersebut tumpang tindih, menjadi penyebab sekaligus akibat, berkelindan, seperti putaran yang tak mau putus.

Meski demikian, ada pula prestasi warga rusun yang perlu dikabarkan. Hal tersebut disampaikan oleh David K. Wiranata yang membagikan pengalamannya mengelola penyelenggaraan Rusun Cup 2015. Kecintaan anak-anak dan pemuda rusun pada olahraga sepak bola menginspirasi dirinya dan Gubernur DKI untuk membuat kompetisi antar-rusun berhadiah mengunjungi stadion sepak bola di Spanyol. Di antara pemenang yang berangkat ke Spanyol, bahkan ditemukan anak yang dilarang sekolah oleh ayahnya.

David K. Wiranata menceritakan pengalaman anak rusun Daan Mogot (pemenang Rusun Cup 2015) yang belum pernah naik pesawat. Siapa sangka mereka malah secara spontan diperbolehkan masuk ke ruang eksklusif di Camp Nou dan Santiago Bernabeu. Sumber gambar dokumentasi pribadi Widha Karina
David K. Wiranata menceritakan pengalaman anak rusun Daan Mogot (pemenang Rusun Cup 2015) yang belum pernah naik pesawat. Siapa sangka mereka malah secara spontan diperbolehkan masuk ke ruang eksklusif di Camp Nou dan Santiago Bernabeu. Sumber gambar dokumentasi pribadi Widha Karina
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya warga rusun, apabila berhasil dimotivasi, mereka akan unggul dan menjadi potensi yang luar biasa bagi keluarganya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sayangnya, niat seorang anak untuk belajar kerap ditentukan oleh keputusan orang tua dan lingkungannya. Akan sangat disayangkan bila anak yang memiliki potensi justru malah dicegah untuk belajar semata-mata karena orang tuanya yang pesimis pada pendidikan. Bukankah  berarti yang perlu didik terlebih dahulu adalah orang tua dan lingkungannya?

Sinergi yang Diupayakan oleh Kementerian PPPA
Kementerian PPPA, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Agustina Erni (Deputi Partisipasi Publik) mengatakan bahwa pihaknya mengumpulkan beragam stakeholder pada hari tersebut di Millenium Sirih Hotel, Jakarta, untuk saling berbagi kisah dan program dalam menangani masalah-masalah perempuan dan anak yang terpotret  melalui rusun-rusun di Jabodetabek.

Untuk itu, di antaranya hadir pula akademisi perguruan tinggi yang terlebih dahulu sudah mengaplikasikan ilmunya ke dalam masalah sosial yang terjadi di lingkungan rusun. Para akademisi ini berbagi kepada stakeholder lainnya (di antaranya adalah media, praktisi konseling, perwakilan ormas keagamaan, dan NGO) mengenai pengalaman lainnya, untuk kemudian berembug untuk merumuskan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang lebih mumpuni untuk diterapkan di rusun-rusun lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun