Bahwasanya setiap langkah yang kami tempuh selama ini merupakan hasil dari konsensus ragam pertimbangan yang bukannya tanpa risiko. Dan bukannya tidak mungkin jika di kemudian hari, Kompasiana akan mencoba mengaplikasikan fitur-fitur baru yang juga berpotensi menimbulkan reaksi dari unsur yang lain.
Akan tetapi, Kompasiana akan semaksimal mungkin mengutamakan kenyamanan pengguna. Kami berupaya menampung dan mengakomodasi ragam kebutuhan pengguna meskipun tidaklah mungkin memuaskan semua pihak. Kami juga telah membaca beberapa tulisan Kompasianer yang berisi kritik dan saran kepada kami belakangan ini. Saya pribadi mengucapkan terima kasih atas atensi Anda semua.
Dan berangkat dari kritik itulah --jika Anda perhatikan-- Â Topik Pilihan Kompasiana telah kembali mengakomodasi tak hanya topik-topik gaya hidup saja, melainkan juga dari kategori lain. Termasuk di antaranya kategori Politik dan Humaniora.
Lalu bagaimana dengan problem keterbacaan yang juga menjadi polemik?
Untuk bisa memiliki jumlah keterbacaan yang baik, sebuah konten harus melalui sejumlah tahapan penilaian. Bukan hanya dari moderator, tetapi juga dari sistem mesin pencari. Google.
Patut kita ingat bahwa Google mengubah "peraturan mesinnya" secara berkala. Pembaruan kebijakan ini tidak dapat diterka. Bisa saja dapat terjadi setiap bulan. Oleh karena itu, strategi pembuatan konten yang kita pakai dahulu belum tentu efektif dan berhasil untuk diterapkan pada hari ini. Karenanya, saya dan Anda perlu lebih cekatan mengetahui setiap pembaruan ini.
Menariknya, riset yang Kompasiana lakukan pada bulan Agustus lalu menemukan bahwa motivasi berkompasiana Kompasianer relatif mempengaruhi jumlah keterbacaan yang diperolehnya.
Responden yang memiliki kemampuan memilih topik dan kata kunci populer memiliki peluang lebih besar memperoleh keterbacaan yang lebih tinggi. Apalagi jika disertai dengan penambahan sejumlah komponen SEO seperti formulasi kalimat pembuka, judul, meta description, backlink, menghindari produksi harming content, dan lain-lain.
Dan dari hasil IDI, hanya 13% responden yang memiliki motivasi utama memperoleh angka keterbacaan dan perolehan K-Rewards yang tinggi, dengan berbekal teknik optimasi konten yang cukup memadai. Sisanya belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai SEO dan cenderung memilih kepuasan batin/social purpose seperti curhat, berbagi pengalaman dan membuat konten yang bermanfaat bagi orang lain sebagai motivasi menulis. Lainnya, ada pula yang memiliki motivasi untuk bertemu dengan penulis lain, berinteraksi, membangun reputasi, dan melatih kapasitas/aktualisasi diri.
Apakah lantas dengan demikian saya mengatakan bahwa memiliki motivasi menulis untuk kepuasan batin, social purpose, atau membangun kapasitas diri tidak cocok untuk iklim di Kompasiana? Jawabannya: tentu saja tidak.Â
Bahkan jika Anda menanyakan kepada saya, "Mbak Widha termasuk yang mana?" Secara motivasi, tentu saya termasuk yang memiliki motivasi menulis untuk kepuasan pribadi. Memang, motivasi tak bisa tunggal. Kadang ada keinginan untuk membangun reputasi, mendapat banyak keterbacaan, atau mendapatkan predikat AU. Akan tetapi ada kelegaan personal yang rasa-rasanya melampaui motivasi lainnya. Bedanya, mungkin saya memiliki sedikit pengetahuan teknis mengenai optimasi konten.
Tapi pertanyaannya, meskipun saya dan kita mengetahui cara mengoptimasi konten, pedulikah kita dan maukah kita mengaplikasikan keterampilan tersebut saat membuat konten? Untuk saat ini, untuk saya sendiri, saya menjawab: saya belum ingin menerapkannya. Karena yang terpenting bagi saya bukan bukan keterbacaan, melainkan rasa ingin berbagi melalui tulisan. Keinginan untuk menyampaikan storytelling yang berkualitas tanpa ingin diatur oleh repotnya strategi formulasi paragraf, kata kunci, dan lain sebagainya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!