Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

7 Rumor Traveling ke India, dari Makanan Jorok sampai Keamanan Perempuan

6 Maret 2019   22:47 Diperbarui: 22 Februari 2023   21:21 16837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu gerbang Pink City, Jaipur. (Foto oleh WIDHA KARINA)

"Makanan di India bersih gak kak?"

"Katanya di sana jorok  ya? Nonton vlog orang, liatnya aja sampe mau muntah."

"Kok kamu berani banget sih cewek berdua doang jalan-jalan ke sana?"

Namaste~

Selama jalan-jalan ke India pada tengah Februari lalu, saya kerap menerima pesan dari beberapa teman yang rata-rata  menanyakan hal serupa tentang rumor jalan-jalan ke India. Contohnya ialah 3 pertanyaan di atas, yang sungguhan masuk dalam inbox setelah saya membagikan beberapa aktivitas lewat IG Story.

Jujur aja, sebelum berangkat ke India, saya memang parno soal beberapa hal. Satu, soal keamanan turis cewek. Dan dua, soal legenda Delhi Belly, yaitu istilah populer buat penyakit diare yang biasanya menyerang turis-turis yang kagok dengan makanan India yang katanya disajikan secara tidak higienis.

Gimana nggak parno. Wong setiap kali googling nama kota di India, mesti deh nongol berita tentang pelecehan seksual. Tiap kali blogwalking/tanya kanan-kiri, yang ditemukan adalah kesaksian (bedeuuh kesaksian) rangorang yang sakit perut sampai demam berminggu-minggu, cerita tentang turis Eropa yang diperkosa beramai-ramai di kereta jarak jauh, atau tentang turis yang dikuntit karena menolak membeli suvenir, dan lain sebagainya.

Terus gimana sih kenyataannya? Apakah ketakutan-ketakutan tersebut sungguh terjadi, apakah sekadar stigma, atau bisa jadi cuma mitos aja? Nah saya di sini mau membagikan pengalaman buat teman-teman yang mungkin kebetulan juga lagi blogwalking cari referensi ke India. Moga-moga bisa memperkaya informasi... karena... emm spoiler-nya nih, saya berpendapat India nggak separah seperti yang dikatakan rangorang. Tapi yaa ... ada juga kondisi-kondisi yang perlu diwaspadai....

Salah satu contoh jajanan ekstrem para pelancong. Tidak heran jika sakit perut. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Salah satu contoh jajanan ekstrem para pelancong. Tidak heran jika sakit perut. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Sebagai info awal, saya cuma pergi ke 3 kota di India selama seminggu. Kota pertama yang saya datangi adalah Hyderabad yang jadi ibu kota negara bagian Telangana dan sekaligus ibu kota sementara bagi Andhra Pradesh. Lokasinya di India Selatan. Saya dan teman (namanya Nisa, tapi bisa dipanggil Lawren. Lha jauh yak) memutuskan mampir ke sini karena (selain tiketnya lebih murah) kami mau nyobain kekhasan langgam budaya India Selatan.

Kota kedua dan ketiga ialah kota yang sangat populer di India bagian utara. Apah lageh kalow bukan Jaipur dan Delhi. Jaipur terletak dalam negara bagian Rajasthan dan Delhi ada dalam union territory Delhi. Kalau dalam konteks Indonesia, ni 3 kota ada di provinsi yang berbeda. Jadi, masing-masing kota bisa beda-beda budayanya, beda kondisi fasilitas publiknya, higienitasnya, dan lain sebagainya.

Plus, review saya ini belum tentu bisa dijadikan acuan yang pasti. Kenapa? Karena apalah yang bisa kamu nilai segitu akuratnya jikalau kamu hanya berkunjung seminggu sahaja di negeri orang (tanda-tanda laen kali cutinya mesti sebulan). Tapi juga dalam seminggu itu saya belajar, bahwa nggak adil juga kalau kita berburuk sangka yang terlalu pada negeri yang uedyan ini, apalagi sampai membatalkan kunjungan. Yuk marihey kita mulae.

1. "Makanannya bersih nggak sih?"

Ni kalau yang tanya orang Indonesia, palagi shobat misqueen, rasanya kuingin geleng-geleng kepala. Jikalau klean biasa beli pecel ayam tenda, telor gulung di trotoar, lauk warteg yang diangetin lagi, pentol cilot dari abang-abang naik sepeda, somay dari ikan sapu-sapu danau UI, yakinlah teman, kamu punya imun yang ciamik buat menghadapi makanan di India.

Prinsipnya sih sama aja kayak milih makanan di Indonesia. Ya liat aja gimana gerobaknya, gimana cara masaknya, dia jualan di deket tempat sampah apa gak, dan lain-lain. Kalau kamu termasuk orang yang suka makanan bersih, yo jangan beli makanan yang secara penampakannya aja udah hardcore. Kamu bisa pilih restoran pinggir jalan yang bersih dan enaknya bikin terharu. Tapi saya dan Nisa malah beberapa kali merasa lebih cocok dengan rasa makanan kaki lima. Ada yang jualannya deket got jorok dan kuku pejualnya item-item gitu. Hehe.

Salah satu jajanan yang terngasal, nemu di tengah gang pasar di Jaipur. Nda terlalu higienis tapi rasanya warbyazak. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Salah satu jajanan yang terngasal, nemu di tengah gang pasar di Jaipur. Nda terlalu higienis tapi rasanya warbyazak. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Tipikal warung pinggir jalan di Hyderabad. Rasanya tsadest enak banget sampe terharu. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Tipikal warung pinggir jalan di Hyderabad. Rasanya tsadest enak banget sampe terharu. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Ini di restoran. Makan termewah dan terbersih selama saya dan Nisa di India. Harganya bisa 2,5 kali lipat dari harga di warung atau gerobak pinggir jalan. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Ini di restoran. Makan termewah dan terbersih selama saya dan Nisa di India. Harganya bisa 2,5 kali lipat dari harga di warung atau gerobak pinggir jalan. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Masala Chowk di Jaipur, semacam outdoor food court di tengah taman. Anak mudanya banyak yang nongkrong di sini. Makanannya enak-enak dan bersih. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Masala Chowk di Jaipur, semacam outdoor food court di tengah taman. Anak mudanya banyak yang nongkrong di sini. Makanannya enak-enak dan bersih. (Foto oleh WIDHA KARINA)

Ohya, sebagai info, hotel di India biasanya membuka lantai 1 mereka sebagai resto. Selain lebih bersih, rasanya enak, harganya pun masih terjangkau. Bisa jadi pilihan bagus nih daripada ketergantungan ke McD atau KFC lagi. Lagipula McD dan KFC di sana agak susah dicari, nggak berceceran kayak di Indonesia.

Soal minum, ada beberapa blog yang menyarankan untuk tidak minum selain dari botol air mineral bersegel. Saya luput membaca poin ini sebelum berangkat ke India. Jadilah saya selama di India malah jelalatan nyari drinking water station demi refill botol minum. Saya refill di penginapan, bandara, food court, restoran, dan warung pinggir jalan. Cuma 1 lokasi yang secara naluri saya enggan ngambil: lokasi wisata.

Pemerintah India tampaknya memang menjamin ketersediaan fountain/drinking water station di seantero kota buat penduduknya. Restoran (baik yang high class maupun yang pinggir jalan) pun terbiasa menyediakan teko berisis free "regular water" yang akan diisi terus begitu kamu menghabiskannya. Kalau kamu lebih suka air dalam kemasan, kamu bisa pesan "mineral water" ke pelayannya. Bedanya, "regular water" itu di teko dan gratis, sedangkan "mineral water" itu air minum botolan dan mbayar.

Jangan lupa perhatikan kebersihan gelas di resto ya. Saya yang selalu nuang air dalam teko ke botol minum pribadi pernah sekali liat pengunjung resto nenggak langsung dari teko. Aih mak itu nasi biryani dari kumisnya bisa jatuh ke dalem dan muter-muter dalam teko. Tapi hal tersebut tak menyurutkan niat buat selalu refill gratis. Hahaha. Dengan pola makan-minum begitu, untungnya saya sehat selama 7 hari di India. Sama sekali nggak sakit dan nggak mules. Padahal di Jekardah, saya hobi mules.

2. "Aku nggak bisa ke India, soalnya makanannya pedes-pedes."

Lalu gimana dengan makanan pedasnya? Bukannya itu juga bisa bikin mules? Emm... kalau yang ini.. gatau ya. Jangan-jangan saya dan Nisa yang kurang beruntung. Tapi kami nggak menemukan makanan yang segitunya bisa membakar lidah dan perut kami. Malah lebih pedes menu fusion di McD dan KFC India.

Naini kalau mau coba minuman pedas. Ini soda campur jeruk nipis. Kalau mau menghangatkan badan, coba minta dicampur masala. Sensasinya kayak minum sprite pakai lada. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Naini kalau mau coba minuman pedas. Ini soda campur jeruk nipis. Kalau mau menghangatkan badan, coba minta dicampur masala. Sensasinya kayak minum sprite pakai lada. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Makanan otentik India yang kemarin kami coba tuh lebih ke pedes rempah dan bikin hangat perut, tapi gak sampai bikin gelagepan. Entah karena tukang masaknya nurunin standar pedas begitu ngeliat kami orang asing kali yak? Tapi apa iya selama 7 hari, tukang masaknya punya inisiatif yang seragam? Mana temen saya sering dikira orang lokal. FYI, standar toleransi pedas saya hanya sekitar di ayam R*cheese dan G*prek Bensu level 4. Temen saya malah mungkin level 2 aja. Jadi, karena gak mules, Diatabs dari Tanah Air tercintah nggak kepake deh~ (untung aja belum beli Imodium. Kan mahal yak).

Makanan terpedas yang kami temukan di Delhi ternyata cuma gertak warna. Sepertiga pedesnya samyang. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Makanan terpedas yang kami temukan di Delhi ternyata cuma gertak warna. Sepertiga pedesnya samyang. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Buat rekan-rekan muslim, makanan di India relatif aman. Kulinernya kebanyakan adalah makanan vegetarian dan vegan. BTW susah sekali cari ayam. Di Hyderabad, malah lebih mudah menemukan olahan daging domba. Babi sangat sangat sangat jarang ditemukan. Kalau sapi mah sudah pasti nggak ada ya....

3. "India itu jorok ya katanya?"

Tergantung. Ngomongin apanya nih? Kalau masih tentang makanan, ya 11-12 lah sama makanan Indonesia. Wong pas di sana, ada orang Kanada yang pernah cerita kalau dia keracunan makanan 3 kali di Bali karena jorok. Intinya sih ada yang bersih, ada juga yang jorok tapi enak (you know lhaa tangan jorok bisa menambahkan bumbu tertentu ke makanan). Di Jaipur malah kami sempat mampir ke semacam outdoor food court rapi di tengah taman (fotonya ada di atas). Tempatnya bersih sekali, bahkan toilet-nya pun nyaman~

Toilet di Masala Chowk (semacam outdoor foodcourt di Jaipur). Bersih, nyaman. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Toilet di Masala Chowk (semacam outdoor foodcourt di Jaipur). Bersih, nyaman. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Sekalian ngomongin toilet yuk. Jangankan di India, di Indonesia pun saya memang menghindari ke toilet umum di lokasi wisata. Dalam kepala nih udah ketebak gimana bentuknya, ogah dah. Jadi, saya hanya ke toilet umum terpercaya seperti di bandara, food court/restoran, dan ---tentu saja--- penginapan. Pernah sekali di Qutb Minar Delhi, muncullah panggilan alam. Tapi niat pun langsung batal begitu tercium aroma yang tak asing lagi, dari jarak 5 meter sebelum kubikel toilet.

Temen juga ada yang nasihatin jangan pakai air di toilet kereta jarak jauh. Selalu bawa tisu baik basah maupun kering, untuk jaga-jaga kalau air yang tersedia sepertinya kurang bersih. Ini berlaku juga buat kamu yang lebih suka makan pakai tangan karena makanan India emang sebenarnya dimakannya mesti pake tangan supaya sedaph.

Soal sampah? Lagi-lagi sama kayak Indonesia. Kalau lagi di pasar tradisional, yo jangan heran kalau ada tumpukan sampah dan tanah becek layaknya di Mester atau Tanah Abang. Selain di pasar, jujur aja nih, malah lebih bersih 3 kota tadi daripada Jakarta. Mehehehe. Pedagang di area perkantoran Delhi sudah pasti punya stall. Gelandangan di Delhi ada yang rapi melipat kembali kasurnya setelah matahari terbit, etapi ada juga yang sampe nge-camp di bawah kolong tol.

Warung kaki 5 di trotoar gedung perkantoran Delhi ini rapi uga. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Warung kaki 5 di trotoar gedung perkantoran Delhi ini rapi uga. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Yang paling bikin maknyess ya lokasi wisatanya. Meski masih ada aksi corat-coret, tapi beberapa tempat bersejarah di sana relatif bebas dari sampah plastik. Lha kalau orang kita mah gak bisa liat celah di tembok Borobudur, bawaannya pengen nyelipin botol atau bungkus ciki. Kalau gak ada celah, sok-sok nggak ngeh, njatuhin bungkus permen ke tanah.

Gak usah pake sapu-sapu, langsung auto prewed. Qutb Minar di Delhi. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Gak usah pake sapu-sapu, langsung auto prewed. Qutb Minar di Delhi. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Tiga kota yang saya datangi juga menolak penggunaan plastik untuk belanja di minimarket. Mereka menggantinya dengan tas kain. Dan yang paling ajaib, mereka pakai gerabah buat menjual minuman dingin. Dan karena harganya cuma 1 rupee (Rp 200), gelas gerabah itu hanya dipakai sekali, langsung buang! Gokil! Tapi untuk makanan lain, mereka masih suka pakai styrofoam dan papercup berlapis plastik juga.

Kalau pesan lassi di Jaipur, kemungkinan pakai gelas tanah liat sekali pakai. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Kalau pesan lassi di Jaipur, kemungkinan pakai gelas tanah liat sekali pakai. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Tapi gerobak makan di Hyderabad, Jaipur, dan Delhi tuh bersih lho! Jarang banget ada penjual yang buang sampah ke jalanan di sekitarnya. Nggak kayak abang ketoprak yang abis motongin ketupat, daunnya ditumpuk di bawah kakinya. Masing-masing pedagang punya tempat sampah yang siap angkut, nggak pating trecek ngono. Sampai-sampai saya bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan ada regulasi kebersihan buat pedagang kaki lima ya di India?

Coba ini gambar di-zoom. Meski padat, pasar di kawasan padat Jaipur ini bersih. Jarang ada sampah yang menggunung di kaki-kaki gerobak. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Coba ini gambar di-zoom. Meski padat, pasar di kawasan padat Jaipur ini bersih. Jarang ada sampah yang menggunung di kaki-kaki gerobak. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Soal hewan, ada banyak anjing liar di 3 kota yang kami datangi kemarin. Apalagi di Jaipur dan Delhi. Selain anjing, ada juga gajah, kuda, sapi, dan unta berkeliaran di jalanan. IYA JALANAN. Pernah bajaj saya gak bisa lewat karena gajah lagi nutupin jalan. Sial betul. Nah eek sembarangannya para tunggangan ini bisa jadi PR sendiri nih buat pejalan kaki. Mesti agak waspada sama ranjau.

Tapi ini kan baru 3 kota ya. Saya nggak tahu apakah misalnya, tradisi Hindu yang menolak pembuatan toilet di rumah masih terjadi hingga saat ini. Ada satu film bagus tentang ini lho, judulnya "Toilet", pernah tahu?

Atau mungkin bagi kamu yang mau ke Varanasi, kamu mungkin perlu riset lebih jauh soal sanitasinya. Sungai Gangga yang terkenal di kota itu konon dipakai warga untuk mencuci, mandi, menyucikan orang berpenyakit, kremasi/mencelupkan jenazah. Sesungguhnya pemerintah telah perlahan mengimbau untuk tidak melanjutkan praktik tersebut. Semoga kondisinya baik ya sekarang.

4. "Baunya khas gitu kan di sana?"

Terus ada pertanyaan yang bikin saya geli, "Katanya orang sana baunya khas ya?" Hari pertama sampai di India, saya banyak bersin, gatau kenapa. Memang sih ada aroma yang berbeda begitu kami berjalan-jalan di sana. Mirip bau dupa dan masala (bumbu-bumbu) yang kalau sekarang saya cium lagi, pasti akan mengasosiasikan memori saya ke hari-hari ketika traveling ke India. Jadi, kalau dibilang khas sih: iya.

Dan bisa jadi, orang-orang di sana jadi sering terpapar wewangian dupa dibakar, kembang, dan masala yang terbawa angin. Jadinya ya muncullah anggapan bahwa "orang sana baunya khas". Tapi beberapa kali saya semacam membatin apakah orang India punya selera wangi parfum tertentu karena beberapa kali hidung saya mengendus wangi serupa yang menguar dari beberapa orang di jalan. Baunya tuh kayak pedes cabe keriting kering, kunyit, asap wangi dupa, kayu, tanah, dan bedak bayi.

Trus kalo orang India dateng ke Indonesia, mereka juga bilang,
Trus kalo orang India dateng ke Indonesia, mereka juga bilang,
Udah gitu saya nemu brand artsy lokal gitcuh yang bikin parfum berjudul "Native Notes". Pas dicium, lhaaa ini "wangi India banget". Nahkan kujadi curiga beneran ada wangi khas yang digemari orang-orang di sana. Etapi begitu sampai Delhi, wangi ini udah samaaarr banget. Digantikan oleh aroma kayak di dalam CommuterLine pagi-pagi dari Manggarai ke Sudirman, fresh bener wangi tiap orangnya. Yoih kota metropolitan.

5. "Cewek aman gak sih jalan-jalan ke India?"

Iyah. Saya berterima kasih buat semua teman-teman yang mewanti-wanti kami tentang isu kejahatan seksual terhadap perempuan di India. Kami juga merasa waswas. Terutama ada semacam guyonan satir yang populer dilontarkan soal kondisi tersebut: di jalanan India, sapi lebih terjamin keamanannya daripada perempuan.

Apalagi sebelum berangkat, saya sempat mengontak 1 travel blogger yang sudah duluan ke sana dan dia mengaku mendapat pengalaman tidak menyenangkan di Agra. Seseorang meremas bagian tubuhnya sampai dia luar biasa marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa dan syok hingga beberapa waktu setelahnya.

Lalu bagaimana dengan kami? Saya dan Nisa secara umum merasa aman ketika traveling di India.  Di Hyderabad, kami mendapat satu kali teriakan "Hey, Babe! I love you!" dari seorang remaja yang melintas cepat dengan motornya ketika kami berjalan kaki sekitar jam 8 malam. WOY, situ Dilan? Sedangkan di Jaipur, ada bocah yang sedang bermain bola di lapangan menepuk kencang bagian tubuh teman saya, kemudian lari sambil tertawa-tawa. Juga ada laki-laki paruh baya yang terang-terangan merayu teman saya nyaris seharian. Tapi semuanya itu masih bisa di-handle.

Murni penilaian saya, baik penduduk laki-laki dan perempuan di Hyderabad cenderung kalem menghadapi orang asing. Mereka sopan, ramah, dan lembut. Tidak memaksakan dagangannya untuk dibeli. Ada sih yang pura-pura nyender tembok samping kita, trus minta temennya curi-curi foto kita dempetan sama dia. Tapi kami juga sudah mencoba naik bajaj, keliling pasar, makan, naik Uber subuh-subuh ke bandara, dan jalan kaki malam (hingga jam 9) di sini. Aman.

Beralih ke kota selanjutnya. Buat saya Jaipur dan Delhi sama-sama bikin deg-degan dan membutuhkan skill bertahan hidup yang lebih tinggi. Terutama (sayangnya), Jaipur. Ada satu blog perjalanan manis tentang Jaipur, betapa ramahnya penduduknya, dan demikianlah ekspektasi saya. Tapi ternyata di pengalaman saya kemarin, Jaipur lah yang paling bikin kemringet.

Orang-orang di jalan nggak akan ragu memandangi kita dari ujung kepala sampai kaki, bahkan setelah kita balas menatap mereka. Tapi secara umum, saya dan Nisa merasa baik-baik saja di India. Kami berhasil melewati 6 jam tidur di night sleeper bus dari Jaipur ke Delhi, jalan kaki di gang-gang kecil, slum area saat hari gelap (tidak untuk ditiru) dan para gelandangan terlelap, naik Delhi Metro saat jam sibuk, dan berpakaian sesuai dengan standar kenyamanan kami sendiri.

Soal pakaian, beberapa travel blogger tidak menyarankan menggunakan saree untuk jalan-jalan karena hal tersebut akan menarik perhatian. Akan ada banyak laki-laki dan perempuan yang mengerubung di lokasi wisata untuk minta foto bersama (kecuali kamu memang tak masalah dengan perhatian tersebut). Jadi sebaiknya pakai saja baju jalan-jalan yang nyaman buatmu. Atau kalau mau tetap ingin mencoba berpakaian ala orang lokal, kurta bisa jadi pilihan karena tak terlalu menarik perhatian. 

Kiri, turis yang mengenakan kurta (atasan/blus panjang) dengan motif khas India. Biasanya dipadankan dengan celana longgar atau legging. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Kiri, turis yang mengenakan kurta (atasan/blus panjang) dengan motif khas India. Biasanya dipadankan dengan celana longgar atau legging. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Setiap mau masuk lokasi wisata, naik Delhi Metro, dan di bandara, ada pemeriksaan badan wajib yang cukup ketat.. Di barisan pemeriksaan perempuan, biasanya ada bilik kecil untuk memeriksa pengunjung satu-persatu oleh petugas perempuan.

Pemisahan barisan berdasarkan gender jamak diterapkan di 3 kota yang saya datangi. Biasanya untuk kebutuhan pemeriksaan keamanan. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Pemisahan barisan berdasarkan gender jamak diterapkan di 3 kota yang saya datangi. Biasanya untuk kebutuhan pemeriksaan keamanan. (Foto oleh WIDHA KARINA)

Sekali lagi, keamanan yang saya dan Nisa alami belum bisa jadi patokan utama buat para traveler perempuan. Tanpa mengurangi simpati kami pada turis yang mendapat pelecehan seksual selama di India, saya mau mengimbau untuk tetap selalu waspada. Setiap wilayah di India pasti punya kondisinya sendiri, dan bisa saja ada wilayah lain yang kurang ramah bagi perempuan.

6. "India kan padet banget penduduknya, ih!"

Iya sih, katanya angka populasi orang di India adalah kedua tertinggi setelah China. Karenanya, saya berniat buat membuktikan Delhi yang legendaris karena kepadatan penduduknya. Saya jadi inget di sebuah forum jalan-jalan, ada orang yang minta rekomendasi tempat yang less crowded di Delhi. Eh jawabannya kochak. "Just don't go to Delhi." Bahaha.

Keylah... saya dah menyiapkan mental nih ceritanya. Tapi pas nyampe .... Kok ya B aja. *ketapketip*

Emang dah salah banget kalau yang disuruh komentar adalah nak Jakarta nyang tiap harinya jejel-jejelan di Stasiun Tanah Abang, tinggalnya di gang padat penduduk daerah Senen, dan doyan mainnya ke Pasar Baru dan Jatinegara. Mana? Mana padatnya, saya hadepin!

Met malem, cinta... (Stasiun Tanah Abang. Foto oleh ALEX SUBAN | WARTA KOTA)
Met malem, cinta... (Stasiun Tanah Abang. Foto oleh ALEX SUBAN | WARTA KOTA)
Gengs, Delhi di jam kerja emang macet sih (tapi halo, ada Cawang? Bulevard Kelapa Gading, Mampang, en MARGONDA?) Mobil di sana memang padat merayap, semua kendaraan mencet klakson! Hampir semua ruas jalan warnanya merah di peta. Iyah bener, bikin stres. Tapi begini, saya punya ide. Gimana kalau nanti ke Delhi, jangan naik mobil tapi cobain yang namanya Delhi Metro. Delhi Metro punya 9 lines/koridor, udah kayak gurita yang tentakelnya menjangkau tiap sisi Delhi. Masing-masing koridor ada relnya sendiri-sendiri, jalannya gak pake nunggu susulan KA luar kota, KA bandara, atau kereta barang.

Di jam sibuk pun, penumpangnya nggak mak werrr berlarian begitu pintu kereta terbuka karena kereta selanjutnya bisa datang 3 menit sekali. Jadi meski penduduknya banyak, selama di Delhi saya nda liat ada penumpukan penumpang. Begitu dateng, langsung diangkut. Jadi meski padat, di dalam kereta pun masih terasa nyaman. Peron pun nggak sesak jadinya.

Dan yang bikin Delhi nggak terasa sesak mungkin karena mereka punya buanyak syekaleh ruang publik. Ada puluhan taman (gede-gede yes), museum, pusat jajan, alun-alun, benteng-benteng, dan makam! (Iya euy, makam aja bisa rapi ijo gitu kek tempat piknik.) Jadinya orang tuh nyebar gitu. Nggak ndelalah tumplek padet kayak di Monas, GBK, atau Kota gitu. Etapi gatau ding kalo lagi festival. Yo mesti rame sih pasti.

7. "Katanya banyak scam ya?"

Yang ini (sayangnya), tegas saya nyatakan: iya. Waduu, poin ini mah bisa jadi satu artikel sendiri. Banyak banget modusnya. Setiap travel blogger punya pengalaman jenis penipuan yang luar biasa banyak ragamnya. Tapi gatau ya ini India sebenarnya banyak scammer atau hanya kebanyakan orang dengan gelar S3 marketing. Pinter bat menggiring orang untuk mengeluarkan uang. Belom tahu dia, saya dah biasa kena tipu daya abang-abang Poncol.

Anak Senen. Terlatih. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Anak Senen. Terlatih. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Yang paling harus diwaspadai adalah di lokasi wisata. Mulai dari pintu masuk sampai pintu keluar, ada aja kreativitasnya. Sebenarnya tuh orang di sana cuma menawarkan bantuan/layanan yang lumrah bagi wisatawan, tapi kadang suka ada taraaa, biaya tak terduga atau penawaran lain yang kita jadi nggak enak nolak karena utang budi, dll. Karenanya turis jadi suka antipati sama wujud layanan yang sesungguhnya nggak mencurigakan sama sekali, hanya karena takut terjebak sesuatu di akhirnya.

Sebagai contoh, jasa transportasi yang nawarin muter ke langsung banyak tempat dengan harga murah di bawah rata-rata. Ehm, bisa jadi dia akan menyelipkan destinasi belanja "toko rekanannya" supaya dia dapat komisi. Atau contohnya di Jaipur nih, ada anak kecil yang repot-repot turun dari motornya dan nawarin apakah kami butuh bantuan buat difoto. Karena gak butuh, jadi kami jawab, "No, thanks". Tapi dia terus memburu, "Yes. Yes! Yes!" sambil maju-maju agresif. Karepmu, bleh ... Ngeyelo nganti sesok.

Atau bisa jadi petugas tempat wisata sediri yang melakukannya. Saat itu saya belum bener-bener dapat foto perempuan India dengan saree. Karena ada petugas kebersihan yang lagi leyeh-leyeh, saya tanya apakah saya boleh ambil fotonya. Dia ngangguk dan menyilakan saya duduk di sampingnya. Pas udah samping-sampingan, dia berbisik, "Money". Modyaro. Mintanya juga banyak, 100 rupees, alias 20.000 rupiah. Jadi kalau kamu liat seseorang lagi mejeng di background cakep, perlu curiga jangan-jangan ia sedang mejeng buat menarik seseorang untuk memotretnya.

Padahal tadinya mau saya bantuin nyapu. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Padahal tadinya mau saya bantuin nyapu. (Foto oleh WIDHA KARINA)

Gimana caranya menolak para ahli marketing ini? Pasang poker face, jangan terlihat tertarik. Nggak perlu galak, yang penting tegas. Senyum gapapa, asal jangan tipe senyum yang bisa memberi kesan bahwa kita bisa dibujuk. Kalo udah ada abang bajaj atau orang di jalan tahu-tahu ngomong, "I know a very good place, good attraction, good night, good day cappuccino, blabla," lewatin aja brosis. Intinya dia cuma mau menggiring kamu ke sebuah destinasi yang akan memberikannya komisi.

Apalagi ada beberapa modus lainnya memang berusaha masuk lewat jalur "kasihan", seperti menyebutkan dirinya adalah mahasiswa yang hanya mau ngobrol dengan kami untuk melatih bahasa Inggrisnya (lah lu pikir gw bisa?) Ada juga yang mengaku sebagai guru, dsb. Saya masih terlalu lembek di tawaran-tawaran awal, tapi lama-lama udah bisa nolak sebelum ditawari sesuatu. Monmaap ni.

Ohya, beberapa kali, kita juga harus ngasih alasan logis kenapa kita gak butuh pakai jasa mereka. Misal, ada pemandu nonresmi di sebuah benteng Jaipur yang menawarkan jasanya. Saya bilang, saya nggak bisa lama dan hanya berkeliling sebentar karena bajaj charteran saya sudah nunggu di parkiran. Mehehee, tapi ini alasannya beneran sih, gak dibuat-buat.

Secara umum, lagi-lagi Hyderabad memenangkan hati saya dan Nisa karena di sana kami sama sekali tidak menemukan niat orang untuk menipu kami. Sementara itu, tawaran-tawaran yang mencurigakan kebanyakan terjadi paling sering di Jaipur, sampai nggak keitung. Rasanya sampai capek dan mau pulang ke penginapan aja biar nggak dimodusin mulu. Delhi juga ada tapi tak sebanyak di Jaipur.

Salah satu lokasi di Delhi yang banyak bener penawaran ajaibnya tiap jalan sekian langkah. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Salah satu lokasi di Delhi yang banyak bener penawaran ajaibnya tiap jalan sekian langkah. (Foto oleh WIDHA KARINA)
Dan uhuk. Ada juga host penginapan yang agak kurang bisa dipercaya karena justru dialah yang membuka gerbang para pengakal ini untuk sampai ke kita. Biasanya sih terkait penawaran jasa transportasi. Tapi setidaknya kalau kita mau komplain, enak bisa langsung komplain ke host. Atau kalau kamu cukup tega, cukup berikan review/skor yang kurang baik di TripAdvisor, travel booking app, dsb.

***
Jadi demikian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang paling banyak muncul tentang jalan-jalan India. Kesimpulannya, India tak seburuk yang dikatakan orang-orang. Atau kalau memang India pernah seburuk itu, bersyukurlah karena kondisi terkininya sudah jauh lebih baik. Bahkan kita sebagai orang Indonesia bisa merasa beruntung karena punya situasi yang kurang lebih sama dengan kota-kota di sana. Perut kita pun lebih tahan banting dibandingkan para bule. Mehehe..

Buat kalian yang terganjal stigma buat jalan-jalan ke sana, percayalah keindahan India melampaui segala cobaan di atas. Yang penting tetap waspada di manapun dan bersiap-siap untuk segala kemungkinan risiko. Apalagi visa ke sana gratis. Petugas bandaranya ramaah sekali, penduduknya juga banyak yang helpful. Dan yang terpenting, nilai tukar uang dan biaya hidup di sana relatif lebih rendah dibanding di sini. Kapan-kapan saya bakal cerita lagi, alasan kenapa kamu mesti masukin India dalam daftar negara yang harus dikunjungi. Saya aja mau lagi nyobain negara bagian lainnya huhu.

Udah, kira-kira begitu. Moga-moga bisa mengimbangi imaji tentang India yang selama ini lebih banyak bikin orang ngeri.

Dhanyavaad, Sir and Madame!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun