Mohon tunggu...
Widadi Muslim
Widadi Muslim Mohon Tunggu... Guru

Guru yang energik, atraktif dan murah senyum. Motivator dan penulis buku kependidikan. Juara kedua kompetisi edukasi Anlene Hidup Penuh Makna. Saat ini mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 164 Jakarta Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kegalauan Liza

27 Desember 2022   12:51 Diperbarui: 27 Desember 2022   13:13 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

angin dingin meniup mencekam

di bulan Desember

air hujan turun deras dan kejam

hati berdebar

Sebait lagu “Desember Kelabu” yang merupakan album perdana dari Maharani Kahar ini seakan mewakili perasaan Liza. Bulan Desember minggu terakhir tahun 2022 ini udara dingin menusuk tulang. Air seakan tumpah dari langit membuat orang-orang enggan keluar rumah. Begitu juga dengan Liza. Gadis tinggi semampai dengan kulit kuning langsat itu pun hanya bermalas-malasan di rumah, hatinya galau. Sudah genap 3 tahun sejak ia diwisuda sebagai lulusan sarjana strata 1 bersama Bram hingga saat ini tak pernah bertemu. Padahal sejak sama-sama menempuh kuliah di Kota Yogyakarta mereka selalu bersama-sama.

Pernah suatu hari ketika bersama teman-temannya pergi ke Candi Borobudur untuk suatu tugas kuliah, Bram berboncengan motor dengan Liza. Keduanya jatuh terlempar ke sawah gara-gara menghindari serombongan itik yang sedang menyeberang jalan. Motor yang dinaikinya pecah kedua spionnya, injakan kakinya patah, stang berat ke kanan sehingga sulit dikendalikan.

Teman-temannya buru-buru berhenti dan menolong keduanya. Beruntung Bram tubuhnya menimpa tumpukan damen (pohon padi kering) sehingga hanya terkilir kaki kanannya. Sedangkan Liza  tercebur di lumpur sawah sehingga sekujur badannya penuh lumpur, pelipisnya memar terbentur batu kali. Ia pingsan.

Sebentar kemudian orang-orang berkerumun di tempat kejadian itu. Orang-orang yang mau berangkat ke kantor berhenti. Anak-anak yang mau berangkat ke sekolah berhenti. Para petani yang sedang menggarap sawah pun menghentikan pekerjaannya. Semua penasaran. Sementara itu serombongan itik yang tadi menyeberang jalan sudah jauh dari pandangan.

“Ada apa Dik, kok ramai sekali?” Tanya beberapa orang.

“Kecelakaan Pak, sepertinya anak-anak mahasiswa.”

“Oh, bagaimana kondisinya?”

“Kurang tahu Pak, saya juga baru sampai.”

Sementara itu teman-teman Bram mendekati Bram yang masih terbaring di atas tumpukan jerami.

“Bagaimana kondisimu Bram?” Tanya Yanto.

“Aduh, kaki kakanku sakit sekali, Liza bagaimana?”

“Masih pingsan, udah tenang saja sebentar lagi semoga siuman.”

“Pingsan?” Bram tak percaya.

Oleh teman-temannya Bram dipapah kemudian disenderkan di bawah pohon cemara. Kaki Bram diurut dan diolesi minyak tawon. Teman laki-laki lainnya membawa motor Bram ke bengkel terdekat. Agak lama mereka menunggu Liza siuman. Teman perempuan lainnya mencari toko baju untuk membeli baju atau kaos yang sekiranya pas dipakai Liza.

“Kasihan sekali kau Liza.” Kata Erin

“Udah jangan banyak omong ayo kita bawa ke rumah penduduk.” Sahut Endah

“Untuk apa?” Tanya Erin

“Ya numpang mandi, membersihkan badan Liza, oon.” Seru yang lainnya

“Oh iya, nggak kepikiran ke situ aku.”

Setelah siuman Liza dibawa teman-temannya menuju rumah penduduk. Dalam perjalanan Liza menutup wajahnya dengan sapu tangan temannya. Ia merasa terpukul dan malu atas kejadian itu.

“Kulo nuwun, permisi Bu.”

“Monggo-monggo, aduh kenapa ini Dik?”

“Kecelakaan Bu, boleh numpang mandi dan ganti baju di rumah Ibu.”

“Oh lha monggo silakan, Aduh kasihan sekali mana cantik begitu anaknya.”

Untuk beberapa hari Bram dan Liza tidak bisa mengikuti kegiatan bersama teman-temannya di tempat tersebut. Keduanya perlu istirahat.

Pada kesempatan lain ketika meneliti abrasi yang terjadi di Pantai Parangtritis 10 orang mahasiswa termasuk Bram dan Liza berada dalam satu kelompok. Mereka mengamati bibir pantai sebelah timur yang masih tampak berbatu dan berbukit. Setengah hari mereka bertukar pikiran bertukar peran mengamati keadaan bukit dan bebatuan di sana.

Hari menjelang sore kegiatan meneliti sudah selesai, mereka mengisi waktu luang dengan berlarian dipinggir pantai. Ada yang berlomba menangkap kepiting dan ubur-ubur pantai. Ada yang menyewa kuda. Sementara itu Bram dan Liza berlomba membuat gundukan, bangunan dari pasir pantai yang basah.

“Ayo Bram, gedungku hampir jadi.”

“Oh ya, aku baru bikin fondasi.”

Tiba-tiba ombak menggulung bangunan dari pasir yang mereka buat. Keduanya sedih bercampur gembira. Sedih karena bangunan yang mereka buat hancur digulung ombak. Gembira karena untuk sementara bisa melupakan tugas-tugas kuliah yang banyak dan harus diselesaikan secepatnya.

“Ayo kita lomba lagi Bram.”

“Ok, siapa takut.”

Keduanya kembali mengumpulkan pasir-pasir basah. Orang-orang di sekelilingnya juga melakukan hal yang sama. Nyaris sepanjang bibir pantai dari ujung barat hingga ke timur dipadati pengunjung. Sebagian besar dari mereka berdiri di bibir pantai. Sesekali air laut menyiram tubuh mereka. Ada kebahagiaan tersendiri yang sulit dibayangkan ketika air laut menyiram tubuh bersama semilir angin yang datang, sementara itu di kedua kaki merasakan pasir yang diinjaknya dibawa air kembali ke laut. Indah sekali.

Hari semakin sore. Pengunjung pantai semakin banyak. Bram dan Liza masih asyik membuat gundukan, bangunan dari pasir-pasir basah. Sesekali mereka beradu pandang. Liza gadis kuning langsat berambut panjang itu tampak seperti bidadari di mata Bram. Apalagi ketika rambut panjangnya tersingkap angin laut yang nakal. Sementara Bram di mata Liza adalah sosok yang pandai, ramah, penolong dan melindungi. Keduanya saling mengagumi.

Tiba-tiba dari arah timur orang-orang berteriak, “Tolong-tolong ada orang tenggelam.” Secepat kilat keduanya mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara sambil berlari ke pinggir. Bersamaan dengan itu datang ombak bergulung-gulung yang lebih besar lagi.

“Awas Bram.” Teriak Liza sekuat tenaga.

Liza memutar badan ke seluruh arah tapi tak juga melihat keberadaan Bram. Ia menangis sejadi-jadinya. Teman-temanya berkerumun menghampirinya. Semua mata mencari keberadaan Bram, dari kejauhan tampak kepala orang terombang-ambing dibawa ombak ke tengah lautan. Teman-teman Liza saling bertanya dalam hati, mungkinkah itu kepala Bram.

Sesaat kemudian petugas penyelamat pantai dengan seragam dan peralatan lengkap berusaha menyelamatkan orang-orang yang tenggelam. Semua orang yang berada dipinggir pantai, di warung-warung makan sepanjang pantai, penduduk setempat menghentikan kegiatannya. Semua larut dalam duka, semua khusyu’ berdoa.

Dua jam lebih petugas penyelamat pantai berjuang melawan ganasnya ombak dan angin laut yang beritup kencang. Sepuluh dari sebelas orang yang tenggelam saat itu berhasil diselamatkan termasuk Bram. Mengetahui kabar tersebut semua teman Bram bergegas menuju kantor petugas penyelamat pantai. Tampak kesepuluh orang terbujur dan terkulai lemas tak berdaya. Semuanya dibawa ke rumah sakit terdekat.

Kenangan-kenangan indah dan menyeramkan bersama Bram  malam itu silih berganti mengahantui pikiran Liza. Ia ingat pada tahun pertama keberadaan Bram di negeri orang untuk menimba ilmu sangat rajin mengirim berita. Tetapi dua tahun terakhir ini Bram nyaris tak pernah mengirimkan kabar beritanya. Malam itu hati Liza benar-benar galau.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun