Ketika rakyat ke mall cuma numpang Wi-Fi dan toilet, pemerintah masih ngotot bilang ekonomi baik-baik saja. Mbok ya sadar, Pak.
Lucu juga melihat fenomena Rojali alias Rombongan Jarang Beli yang mendadak jadi bahan diskusi nasional. Pemerintah baru tahu? Baru sadar? Atau jangan-jangan pura-pura amnesia demi menjaga pencitraan bahwa semua baik-baik saja seperti caption pasangan LDR di Instagram, padahal hati terkoyak -- koyak.
Saya sebagai rakyat jelata, wong biasa-biasa saja, sudah sejak lama jadi pelaku aktif Rojali. Jalan-jalan ke mall bukan buat shopping, tapi buat ngadem, bahkan COD apapun itu yang bisa laku dan nambah -- nambah income, atau sekadar numpang toilet. Bahkan pernah saya ke mall cuma karena AC rumah rusak dan cuaca di luar seperti neraka edisi promo.
Lha kok sekarang malah baru heboh? Jangan-jangan karena selama ini yang dilihat pemerintah cuma data-data glossy yang tampil di presentasi PowerPoint pakai font keren dan animasi transisi. Grafik naik, angka konsumsi tumbuh, inflasi katanya terkendali---ya mungkin benar, tapi terkendalinya di Excel, bukan di dapur rakyat.
Fenomena Rojali ini sejatinya bukan gejala ekonomi semata, tapi potret kecil dari sengkarut besar bernama "kenyataan". Tapi pemerintah kayaknya terlalu sibuk memainkan narasi bahwa ekonomi kita resilien, tahan banting. Lah iya, rakyatnya memang sudah kebal banting sejak harga beras jadi saingan harga saham.
Masih ingat pernyataan klasik itu? "Ekonomi Indonesia kuat karena konsumsi domestik tetap tinggi." Oalah, konsumsi apa dulu? Konsumsi konten TikTok? Konsumsi micin? Jangan-jangan pemerintah melihat keramaian mall sebagai tanda dompet rakyat masih tebal, padahal yang tebal itu cuma keinginan. Bagai pungguk merindukan bulan.
Coba blusukan ke mall, Pak. Lihatlah rombongan muda-mudi yang duduk berjam-jam tanpa belanja apa pun. Yang dicari bukan diskon, tapi colokan dan Wi-Fi gratis. Ada juga ibu-ibu yang masuk ke toko elektronik, pegang-pegang rice cooker, tanya harga, senyum, lalu keluar sambil bilang, "Oke deh, saya lihat-lihat dulu ya." Ya lihat-lihat doang, karena THR belum turun... sejak lebaran tiga tahun lalu.
Saya sendiri pun sudah jadi Rojali senior. Ke mall bukan cari barang, tapi cari rasa: rasa sejuk, rasa nyaman, dan rasa punya uang walau cuma numpang lewat. Rasanya lebih nyata daripada janji kampanye ekonomi kerakyatan yang sampai sekarang masih nyangkut di baliho.
Yang bikin tambah getir, pemerintah sekarang malah seperti tersinggung dengan maraknya Rojali. Seolah-olah rakyatnya dianggap gagal menjadi konsumen ideal. Padahal siapa yang bikin rakyat seperti ini? Rakyat cuma adaptif. Kalau duit tinggal Rp50 ribu, mana mungkin dipakai jajan? Lebih baik disimpan buat beli pulsa listrik daripada beli boba.
Kalau ekonomi beneran baik, kenapa masih banyak warteg yang tutup? Kenapa UMKM mulai banting setir jadi dropshipper produk dari negara tetangga? Kenapa banyak anak muda yang mulai buka jasa titip kerja ke luar negeri?