“Mau ngapain ke Jakarta bro? Kan belum ada kerjaan juga disana?
Nyantai wae (aja), ntar aku pasti jadi artis disana. Di Jakarta kan bisa ketemu artis sapa tau bisa jadi figuran, kalau nggak yaudah balik kampung lagi gampang.”
Sepenggalan percakapan ini masih teringat di memori saya, yah percakapan saya dengan tetangga dari kampung yang sedari dulu seakan terobsesi dengan Jakarta. Setiap berita yang berkaitan dengan Jakarta, bahkan artis favoritnya Syahrini seakan tak luput dari perhatiannya, bisa dibilang berita infotainment gosip pasti akan kalah up to date dibandingkan dia. Yah, saya saja yang sudah bekerja di Jakarta saja sering sekali ditanyai dia setiapkali pulang kampung seperti ini, “Jadi gimana di Jakarta? Sudah ketemu ama artis A atau B belum? Wah masa’ cuma begini saja sih.” Dari pertanyaan itu terkadang saya hanya tersenyum saja soalnya kehabisan kata – kata untuk menjelaskan dengan bahasa sehari – hari juga. Sudahlah lupakan saja percakapan ini, selanjutnya kita akan kembali ke pembahasan utama.
Mengapa Jakarta?
Jakarta, yah Jakarta.
Entah kenapa Jakarta sampai saat ini masih menjadi daya tarik bagi para pendatang, terutama saya sendiri yang berasal dari daerah seakan ikut tertarik meramaikan hingar bingarnya Jakarta. Bahkan, baru beberapa hari yang lalu salah seorang adik tingkat di kampus juga memilih mencari pekerjaan disini padahal sebelumnya di Jogja sudah bekerja. Sekali lagi hal ini menjadi pertanyaan, kenapa harus di Jakarta dan apa bedanya dengan di Jogja bahkan di beberapa kota lainnya?
Gaji yang lebih besar?
Menurut saya hal seperti ini merupakan alasan utama seseorang meninggalkan kampung halaman dan memilih untuk bekerja di ibukota, disini gaji memang dua kali lipat dibandingkan dengan di kampung halaman. Namun, jika kita melakukan perhitungan ulang secara mendetail sebenarnya biaya hidupnya sama saja dengan di kampung halaman. Anda tidak percaya? Coba saja bandingkan beberapa harga komoditi yang biasa kita konsumsi seperti dengan biaya di kampung halaman hanya saja harganya yang berbeda menyesuaikan biaya – biaya seperti biaya distribusi, biaya pengepakan hingga beberapa biaya lainnya atau kadang dalam ekonomi sendiri sering disebut secara keseluruhan adalah total cost. Saya sendiri menyadarinya, bahkan kalau boleh dibilang selisih gaji saya dibandingkan di kampung halaman dengan disini hanya selisih beberapa lembar Soekarno Hatta, tidak begitu besar kan?
Lalu kenapa saya memilih Jakarta?
Banyaknya lapangan kerja yang tersedia dan memberikan beberapa kesempatan untuk meloncat di tempat kerja impian memang menjadi alasan yang logis bagi kita yang memang ke Jakarta tujuannya untuk mencari pengalaman bekerja. Siapa yang tidak mau bekerja di gedung tinggi bahkan bisa melihat pemandangan Jakarta tiap harinya dari ketinggian, bahkan kadang saya sendiri iseng sambil minum kopi melihat pemandangan macetnya Jakarta, terkadang merenung juga apakah ini yang namanya kesenjangan pembangunan? Kesenjangan pembangunan yang hanya terpusat di kota besar menjadikan persebaran pertumbuhan penduduk tidak merata juga, bisa dilihat di Jakarta yang sempit ini banyak sekali orang mengadu nasib mulai dari pemulung hingga direktur semuanya bekerja disini karena magnet Jakarta itu.
Pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah daerah dalam menyediakan lapangan kerja bahkan pelatihan wirausaha muda saya rasa bisa menjadi solusi efektif. Apabila hal ini dilakukan secara serius, saya memiliki keyakinan bahwa nantinya para perantau akan memilih pulang kampung dan membangun kampung halamannya. Menyalahkan pemerintah daerah bukanlah solusi yang bijak, kita sendiri bisa mengawalinya dari diri sendiri.
Saya sendiri memiliki contoh, seorang kawan saya berprofesi sebagai dokter gigi, sebut saja namanya Sahip asli dari Bawean, setelah lulus dia kembali ke kampung halamannya untuk memilih mengabdi. Beberapa temannya menyarankan dia untuk menjadi PNS, atau bekerja di kota karena memiliki peluang yang lebih cerah, namun apakah Sahip tetap di Bawean atau memilih di kota?
Pada akhirnya, Sahip tetap memilih di kampungnya karena dia menyadari disana tidak ada dokter yang rutin ke kampungnya. Dia sendiri (mungkin) dengan dana sendiri melakukan sosialisasi kebersihan gigi (waktu itu ngga’ sengaja saya lihat di BBM), sungguh mulia sekali ini dokter yang memiliki jiwa sosial tinggi. Belakangan saya melihat dia berwirausaha juga menawarkan potensi Pulau Bawean (saya pengin kesini hanya jadwalnya yang masih ngambang), bahkan dia juga membuat packing camilan dari Pulau Bawean. Sekedar promosi saja, nanti kalau main kesana si Sahip hendak membuka kafe kecil – kecilan dan pusat oleh – oleh, bisa jadi nanti bakalan lebih ramai lagi. Untuk kasus Sahip ini, saya sendiri mengacungkan jempol, dia berhasil melawan suatu arus dan menjadi contoh sukses di kampung halaman sendiri.
Bagi saya yang hanya karyawan biasa, hal seperti ini memang kadang membuat kita merasa kerdil. Bahkan saya sendiri terkadang malu, bekerja di Jakarta pergi pagi pulang malam terkadang kreatifitas bahkan ide kita seringkali lenyap oleh kesibukan tiap harinya. Untuk menulis saja, kalau saya tidak menyimpan di notes handphone mungkin ide ini sudah menguap begitu saja. Rasa – rasanya saya juga berkeinginan untuk pulang kampung dan memilih bekerja di Jogja saja, namun sampai saat ini belum ada yang nyantol. Semoga saja saya segera mendapatkan pekerjaan atau mungkin bisa juga menjadi pengusaha di Jogja.
Jakarta memang menawarkan 1001 mimpi bahkan lapangan pekerjaan yang luas, namun tidak seharusnya kita menghabiskan waktu hanya untuk kerja, kerja , dan kerja lha kerjaan terus kapan Anda rileksasi sekedar melepas kepenatan sebentar. Marilah kita bangun kembali kampung halaman kita sama seperti program pemerintah yah kalau ga salah ingat Gerakan Membangun Desa.
Tetap semangat bekerja yah hari ini dan seterusnya. :D
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI