Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Hukum Tanah dan Hutan: Menjaga dari Atas Akar hingga Batas Wilayah

6 Oktober 2025   09:30 Diperbarui: 6 Oktober 2025   09:24 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Hutan (Sumber: Pexels / Pixabay)

Pendahuluan

Bayangkan sebuah hutan lebat di pagi hari. Kabut masih menggantung di udara, burung berkicau, dan akar pepohonan saling berpelukan di tanah yang lembap. Di balik keindahan itu, ada hukum yang bekerja, hukum yang mengatur siapa yang boleh menanam, menebang, menjaga, atau bahkan hanya melintas di sana. Hukum itu disebut hukum tanah dan kehutanan.

Di Indonesia, tanah dan hutan bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga sumber konflik. Dari izin tambang di hutan lindung hingga perebutan lahan adat, persoalan ini sering kali berujung pada ketidakadilan bagi masyarakat kecil. Padahal, konstitusi sudah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945).

Lalu, mengapa hukum yang seharusnya melindungi justru sering menjadi medan perebutan?

Pembahasan

1. Tanah dan Hutan: Dua Sisi dari Satu Sistem

Dalam hukum Indonesia, tanah dan hutan memiliki kaitan yang sangat erat. Tanah adalah alasnya, hutan adalah penutupnya. Tanpa tanah, hutan tak bisa tumbuh, tanpa hutan, tanah mudah rusak. Namun secara hukum, keduanya diatur oleh dua sistem berbeda: Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Inilah yang sering disebut sebagai dualitas hukum agraria dan kehutanan.

Masalah muncul ketika satu bidang tanah diklaim sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi di sisi lain masyarakat sudah turun-temurun menggarapnya. Akibatnya, banyak warga yang dianggap “menempati kawasan hutan secara ilegal”, padahal mereka hidup di sana jauh sebelum batas kawasan itu ditetapkan.

Menurut data Konsorsum Pembaruan Agraria (2023), lebih dari 10.000 kepala keluarga di berbagai wilayah Indonesia terdampak  letusan konflik agraria yang tumpang tindih. Ini bukan sekadar soal kepemilikan, tapi juga soal keadilan sosial.

2. Ketika Hukum Tak Menyentuh Akar

Masalah hukum kehutanan sering terjadi karena pendekatan yang terlalu “dari atas”. Pemerintah menetapkan kawasan, memberi izin, dan menentukan batas, tetapi lupa mendengarkan suara warga di akar rumput. Ketika izin perkebunan kelapa sawit atau tambang masuk, mereka terpaksa keluar dari tanah leluhurnya tanpa kompensasi yang layak.

Pendekatan hukum yang kaku membuat hutan kehilangan makna sosialnya. Padahal, bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar sumber kayu, melainkan ruang hidup dan sumber spiritual. Di sinilah hukum tanah dan kehutanan harus belajar berjalan bersama, bukan saling meniadakan.

3. Menuju Hukum yang Berkeadilan dan Berakar

Perubahan sedang terjadi. Sejak tahun 2019, pemerintah mulai mendorong program Perhutanan Sosial, yaitu skema yang memberi masyarakat hak kelola hutan hingga 35 tahun lamanya. Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (2024), sudah lebih dari 6 juta hektar hutan dikelola oleh masyarakat melalui program Perhutanan Sosial.

Langkah ini memberi harapan bahwa hukum bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan penindasan. Namun, tantangannya belum selesai. Masih banyak masyarakat yang tidak paham hak hukumnya. Banyak pula aturan yang tumpang tindih antara kementerian, membuat proses legalisasi lahan memakan waktu bertahun-tahun.

Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil agar hukum tanah dan kehutanan benar-benar berpihak pada keadilan ekologis, bukan hanya kepentingan ekonomi.

Kesimpulan

Hukum tanah dan kehutanan di Indonesia adalah cermin dari hubungan manusia dengan alam. Bila hukum hanya berpihak pada angka dan izin, hutan akan ikut hancur dan kehilangan jati dirinya. Namun bila hukum mampu menyentuh akar, memahami bahwa tanah dan hutan adalah rumah bagi semua makhluk, maka keadilan bukan sekadar kata, melainkan napas kehidupan.

Menjaga hutan berarti menjaga masa depan. Menegakkan hukum berarti memastikan masa depan itu tetap hijau, lestari, dan milik bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun