Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Institusi Pelayanan Publik Tanpa "Mental Pelayan"

28 Juli 2020   08:34 Diperbarui: 29 Juli 2020   05:44 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelayanan publik di instansi pemerintahan (Foto: KOMPAS.com/AMRAN AMIR)

Berbicara mengenai birokrasi pelayanan publik di Indonesia selalu ada hal menarik untuk diperbincangkan dan dikritisi. Pasalnya, paradigma intitusi pelayanan publik di negara kita belum benar-benar menerapkan mental pelayan. Masih sebatas slogan, jargon, visi namun nirimplementasi.

Masih banyaknya keluhan dari masyarakat mengenai buruknya pelayanan publik di institusi negara menjadi indikator mengenai ketiadaan mental pelayanan. Tahun 2019 lalu Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah mengungkapkan bahwa saat ini tingkat kualitas pelayanan publik pemerintah semakin rendah. Selain itu, mekanisme penerimaan keluhan masyarakat juga belum dibuat secara sistematis.

Pemerintah dinilai masih kurang dalam melakukan pengawasan terkait dengan pelayanan publik. Hal itu tecermin dari rendahnya anggaran untuk kegiatan pengawasan.

Sepatutnya sebuah institusi negara dimana ia sebagai pelayan publik memiliki paradigma sebagai pelayan, termasuk juga aparatur yang bertugas memberi pelayanan langsung.

Namun sayangnya, idiom "kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah" seolah menjadi ciri khas birokrasi pelayanan publik kita. Masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan malah dibuat sibuk kesana kemari dahulu.

Jika benar-benar berparadigma pelayan, maka seharusnya informasi mengenai prosedur disampaikan secara jelas. Bahkan kalau perlu, petugas memberikan arahan secara detail tanpa harus masyarakat kebingungan.

Contoh Kasus
Sebuah contoh kasus yang pernah penulis alami sendiri, misalkan kita akan mengurus surat keterangan belum menikah atau keterangan duda di kelurahan. 

Setelah mengurus surat pengantar dari RT dan RW, tinggalah ke kelurahan dengan membawa berkas persyaratan. Namun, karena ada kesalahan cetak pada Kartu Keluarga (KK) yang justru tertulis keterangan status "menikah," pihak kelurahan tidak bisa memproses Surat Keterangan Belum Menikah. Alasannya logis, dasar hukum yang dipakai, yaitu Kartu Keluarga, tidak sesuai.

Kemudian disarankan oleh petugas kelurahan untuk mengurus perubahan Kartu Keluarga terlebih dahulu ke Kecamatan atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) tanpa diberi tahu mengenai persyaratan dan prosedurnya. Kemudian datang ke Disdukcapil dengan membawa berkas seperlunya.

Setelah antre sekian lama, ternyata petugas pelayanan menginformasikan kalau permohonan ditolak. Penolakan permohonan dikarenakan kurangnya berkas form perubahan KK yang itu didapat dari kelurahan beserta tanda tangan dan stempel pihak kelurahan.

Di papan pengumuman Disdukcapil, Kecamatan, maupun Kelurahan tak ada satu pun informasi yang rinci dan jelas mengenai persyaratan, prosedur dan alur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun