Sebagaimana ditegaskan oleh Djelantik (1999) dalam Estetika: Sebuah Pengantar, keindahan adalah perpaduan antara wujud, bobot, dan penampilan-tidak hanya tentang bentuk luar, tetapi juga makna dalam. Dalam konteks hubungan antarbangsa, diksi yang benar adalah bagian dari wujud estetika etika itu sendiri: bagaimana kita menampilkan keindahan dalam komunikasi budaya.
Dengan demikian, penyebutan "Tiongkok" dapat dipandang sebagai bentuk busana linguistik-berpola sopan, berwarna seimbang, dan dijahit dengan benang diplomasi.
Refleksi Mode dan Bahasa
Jika busana adalah ekspresi visual dari nilai-nilai budaya, maka bahasa adalah ekspresi verbal dari kesadaran yang sama. Dalam keduanya, perubahan selalu mencerminkan kematangan peradaban.
Kita hidup di zaman ketika mode tidak lagi hanya tentang gaya, melainkan tentang cerita di balik kain-tentang nilai keberlanjutan, keterhubungan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Begitu pula bahasa: ia menjadi tekstur moral dari masyarakat yang beradab.
Dalam konteks ini, istilah "Tiongkok" bukan sekadar kata; ia adalah kain linguistik yang menenun kembali hubungan antara bangsa-bangsa Asia. Ia lembut, bersahaja, dan kuat dalam makna.
Sebagaimana selembar batik dan sepotong cheongsam bisa berdialog dalam pameran mode berkelanjutan, demikian pula kata dan busana dapat bekerja sama dalam membangun jembatan budaya.
Penutup
Perubahan diksi adalah bentuk desain kebudayaan. Ia menuntut kepekaan, pengetahuan, dan empati-tiga unsur yang juga menjadi dasar dalam menciptakan busana yang indah. Maka, ketika kita mengucapkan "Tiongkok" dengan penuh kesadaran, sesungguhnya kita sedang menjahit kembali hubungan sejarah dengan benang penghormatan.
Karena pada akhirnya, kata dan kain sama-sama mampu menghangatkan dunia-bila dirancang dengan nilai dan cinta.
Tentang Penulis#DiplomasiBudaya #EstetikaBusana #Tiongkok #DesainMode #BahasaDanBudaya #WesninaResearch #SustainableFashion #CulturalDesign #FashionAndDiplomacy #IndonesiaTiongkok
Wesnina menenun kata sebagaimana ia menenun kain: dengan sabar, lembut, dan penuh makna.
Sebagai dosen dan peneliti mode budaya di Universitas Negeri Jakarta, ia percaya setiap busana adalah doa yang dijahit dengan nilai dan cinta.