Dari Kata ke Kain: Memaknai Pergeseran Diksi "Tiongkok" dan Diplomasi Busana Lintas Budaya
Pengantar Reflektif
oleh Wesnina Nawimar
Di tengah dunia yang sering terjebak dalam prasangka dan politik identitas, berbicara tentang Tiongkok bisa terasa sensitif. Namun, tulisan ini tidak lahir dari keberpihakan, melainkan dari keinginan untuk memahami.
Melalui bahasa dan busana, kita belajar bahwa setiap bangsa memiliki nilai dan estetika yang dapat memperkaya kemanusiaan. Menulis tentang "Tiongkok" bukan berarti menyanjung, melainkan mencoba mendengar kembali suara budaya di balik lipatan kain dan makna kata yang sering disalahartikan.
Bahasa dan busana sama-sama menenun makna-keduanya berbicara tentang siapa kita dan bagaimana kita menghargai perbedaan. Tulisan ini mengulas pergeseran diksi "Tiongkok" dari perspektif estetika busana dan diplomasi budaya, menautkan cara kita memilih kata dengan cara kita merancang busana: keduanya adalah seni membangun kesadaran lintas budaya.
Ketika sebuah kata berganti makna, ia tidak sekadar berubah bunyi, tetapi juga menggambarkan arah kesadaran budaya. Pergeseran istilah dari "Cina" ke "Tiongkok" adalah salah satu cermin paling halus dari perjalanan diplomasi dan empati kebudayaan Indonesia. Menariknya, perubahan linguistik ini beresonansi dengan cara dunia mode memahami ulang identitas dan harmoni antarbudaya.
Bahasa dan Busana: Dua Medium Identitas
Dalam kehidupan sosial, bahasa dan busana sama-sama berfungsi sebagai media representasi diri. Menurut antropolog Koentjaraningrat (1984), kebudayaan adalah sistem simbol yang membentuk cara manusia berpikir dan bertindak. Kata dan pakaian, dalam konteks itu, merupakan simbol yang menghubungkan individu dengan masyarakatnya.
Istilah "Cina" pernah menjadi bagian dari kosa kata umum dalam sejarah Indonesia, tetapi juga membawa beban sosial-politik tertentu, terutama pada masa Orde Baru. Di periode itu, istilah ini sering digunakan dalam konteks diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Kesadaran inilah yang kemudian mendorong lahirnya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014, yang menetapkan penggunaan kata "Tiongkok" (untuk negara) dan "Tionghoa" (untuk etnis), demi menumbuhkan penghormatan terhadap sejarah dan martabat budaya.
Dalam konteks mode, fenomena ini mirip dengan perubahan selera estetika: ketika desain tidak lagi sekadar meniru bentuk lama, tetapi menyesuaikannya dengan nilai-nilai baru yang lebih inklusif. Perubahan diksi mencerminkan semangat yang sama -transformasi menuju kesetaraan simbolik dan kesadaran budaya.