[caption id="attachment_342679" align="aligncenter" width="168" caption="twitter.com"][/caption]
Di suatu pagi, ia melangkahkan kaki masuk ke ruang kerja saya, dengan pakaian rapi dan santun seperti hendak pergi bekerja. Ia lalu duduk berhadapan dengan saya. Parasnya cantik, walau hanya tersentuh polesan make up yang sederhana. Hmm… bukankah kecantikan itu memang tak membutuhkan topeng dalam bentuk polesan make up yang tebal?
Dengan mug berisi kopi di tangan, saya membuka percakapan pagi itu, “Ada yang bisa saya bantu?”
Sekilas muncul kerut di keningnya, namun langsung lenyap begitu senyum manisnya terbit.”Pak Wepe, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya sedang bingung. Sebentar lagi saya akan menikah, tapi... “ Ia berhenti bicara, mengeluarkan tissue, dan menyeka air matanya yang mendadak turun seperti gerimis di hari itu.
Saya menikmati satu tegukan kopi, sembari menanti dalam hening pagi. Sekilas di pikiran saya bermunculan inventaris masalah orang yang akan menikah. Ada yang baru mengetahui bahwa pasangannya ternyata sudah mempunyai keluarga, selingkuh, menderita penyakit tertentu, atau malah adalah pecinta sejenis. Masalah-masalah klise, namun pastilah terasa menyesakkan bagi mereka yang mengalaminya.
“Saya tinggal di rumah bersama dengan papa mama saya. Keduanya mempunyai usaha sendiri. Sangat sibuk dengan pelbagai aktivitas bisnis, sehingga sejak kecil kami, anak-anak papa-mama, diasuh oleh seorang pembantu rumah tangga yang bisu dan tuli. Ada beberapa pembantu yang lain, tetapi pembantu bisu dan tuli itulah yang memandikan, memberi kami makan dan menemani kami ke sekolah,” tutur perempuan itu dengan mata yang menerawang, mencoba mengingat perjalanan hidup.
Rangkaian pemaparan yang biasa saya dengarkan, namun tetap menyisakan tanya ke mana arah dari percakapan ini.
“Pergumulan saya mungkin terasa sederhana bagi orang lain Pak Wepe, tapi tentu saja tak sesederhana itu bagi saya,” kembali kerut muncul di dahinya.
“Saya yakin itu tak sederhana. Sebab jika itu adalah pergumulan sederhana, pasti Anda tak akan rela menunggu giliran jadwal konseling dengan saya selama seminggu lebih,” tutur saya untuk mendorongnya berbicara.
Hening sejenak di pagi yang masih sepi itu. Hembusan angin dari AC makin terasa. “Apakah kalau saya menikah nanti, maka orang tua saya harus duduk di depan baik di gereja maupun di tempat acara?” tanyanya.
“Saya tidak tahu bagaimana aturan yang berlaku di gereja Anda, tetapi di gereja kami itu adalah hal yang biasa saja. Orangtua pada umumnya akan hadir, duduk di bangku paling depan, baik di gereja maupun di tempat jamuan makan. Apakah ada pergumulan tertentu yang membuat orangtua Anda tidak bisa seperti itu? Ada masalah dengan kesehatan, sehingga mereka tidak dapat hadir? Atau jangan-jangan mereka tidak setuju dengan pernikahan Anda?” Saya sengaja melontarkan beberapa dugaan sekaligus untuk menentukan arah percakapan.