Mohon tunggu...
Wenny Ira R
Wenny Ira R Mohon Tunggu... Penulis - Kybernan

Peneliti, Akademisi, Militansi Desa, Humanis, Berbudaya, Book Lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makan Merawang, Tradisi Piknik Masyarakat Melayu Jambi

26 Juni 2022   00:01 Diperbarui: 26 Juni 2022   00:11 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi Edwar Sasmita

Itu lah sebabnya makan merawang bagi Adi jauh berbeda dengan hanya sekedar piknik. Makan merawang tidak meninggalkan sampah di alam karena tujuannya adalah untuk lebih dekat dengan alam dan memaknainya sepenuh jiwa dan penuh cinta kasih. Tak ada perilaku mengotori atau meninggalkan sampah di alam pada tradisi makan merawang.

Makan merawang  sebagai tradisi mengumpulkan orang ramai, dahulu kerap dilakukan ketika panen padi atau pada saat berkebun dan membuka lahan. Pada tradisi ini setiap orang yang telah sepakat ikut makan merawang membawa makanan masing-masing berupa beras, nasi, garam, lauk-pauk dan lain-lain. Makanan ada yang telah dimasak dari rumah atau dimasak di lokasi tempat makan merawang dilaksanakan. Puncak  makan merawang adalah ketika semua orang duduk untuk menikmati makanan yang mereka bawa bersama-sama. Orang-orang saling berbagi makanan tersebut dan saling bercengkerama, bersenda-gurau, melemparkan kelakar satu sama lain dalam suasana yang akrab, guyub, rukun. 

Di tengah sawah yang ada dangaunya atau pematang sawah yang bisa muat orang banyak dan di dalam area kebun biasanya lokasi yang kerap dipilih untuk melaksanakan tradisi makan merawang. Jika ukuran dangau besar, maka makan merawang dilakukan di dalam dangau. Jika tidak, maka dilakukan di pematang sawah atau di tempat terbuka yang memungkinkan. Tikar digelar di atas tanah sebagai alas orang-orang duduk bersama dalam makan merawang. Sejuknya angin sepoi yang dihembuskan pepohonan sekitar menjadi pelengkap suasana dan meningkatkan kenikmatan mencicipi hidangan makan merawang.

Foto dokumentasi Ita
Foto dokumentasi Ita
Adi menuturkan, tradisi menu yang ada dalam makan merawang terdiri dari nasi ibat, sambal terasi, sayur-sayuran dan ikan.

"Nasi ibat adalah nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Kita ambil ikan yang terdapat di sekitar sungai tempat kita tinggal sebagai lauk, juga sayur-sayuran yang kita tanam di sekitar rumah. Itu semua dibawa dengan rantang atau wadah ke tempat acara makan merawang. Tetapi pada acara makan merawang  kita bersama hari ini, karena ada tamu dan dekat dengan rumah, maka kita sajikan dengan nampan. Untuk keindahan saja, " ungkap Adi.

Semula Adi dan  pengurus Taman Sakat Lebung Panjang, serta Taman Baca Atap Rumbe akan mengadakan acara halal bihalal bersama pegiat literasi, media, dan Kampung Dongeng Seloko. Berhubung terdapat kendala yang membuat acara tersebut diundur beberapa kali dan sampai lewat bulan Syawal, maka Adi setelah berembuk dengan pengurus tersebut dan juga tetua Desa Jambi Tulo, sepakat untuk menggelar tradisi makan merawang.

Ita atau Masyitah, baru pertama kali mengikuti tradisi makan merawang. Baginya ini merupakan acara yang seru karena bisa makan bersama teman-teman dan berbagi atau bertukar lauk-pauk. Menurutnya dengan mengikuti tradisi makan merawang, pikiran jadi segar, dan asyik bisa menikmati alam.

"Hal yang paling menarik lewat kegiatan ini kita bisa berkegiatan literasi yang menyenangkan dan penuh makna. Setiap ke Jambi Tulo selalu keunikan yang muncul. Kali ini ada permainan tradisional bernama PeranPisang menyimpan nilai-nilai yang cukup unik. Ita pun bisa belajar bahasa daerah dari permainan tersebut. Niatnya menghadirkan dongeng  untuk anak desa. Ternyata kita sebagai orang dewasa pun ikut bergembira, karena Ita sudah lama tidak menikmati dongeng secara langsung. Tema yang diangkat Alam Sabahat ku juga jadi pengingat buat kita untuk lebih peduli ke alam. Menanam pohon sebagai aksi nyata. Semoga nanti pohon buahnya bisa tumbuh dan berkembang. Beberapa tahun lagi sepertinya kita bisa menikmati bersama," ungkap Ita.

Ita berpesan bahwa keterlibatan tuan rumah komunitas dan masyarakat yang datang menjadi kunci penting dalam kolaborasi kegiatan serupa. Kegiatan ini menurutnya perlu dilaksanakan setiap tahun sebagai ajang silahturahmi bagi masyarakat, pegiat dan juga komunitas literasi di alam terbuka.

Novi yang berangkat bersama Ita mengungkapkan kesannya ikut tradisi makan merawang, "asik, kegiatannya dikemas dengan rangkaian agenda yang menarik. Pesan pelestarian lingkungannya dapat dengan penanaman pohon dan makna makan merawang. Saya juga baru tahu, ternyata makan merawang itu seperti piknik orang-orang tua terdahulu dengan merawat kelestarian lingkungan. Makanan dalam hal ini lauk-pauknya diambil langsung dari alam, tidak menimbulkan sampah seperti piknik kekinian, semoga acara ini terus lestari dan dipraktikkan banyak orang."

Novi pada awalnya penasaran apa hubungan antara komunitas literasi dengan kegiatan makan merawang. Sebelumnya Novi hanya tahu makan merawang itu  cuma makan di sawah ketika  musim panen padi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun