Mohon tunggu...
Wenny Ira R
Wenny Ira R Mohon Tunggu... Penulis - Kybernan

Peneliti, Akademisi, Militansi Desa, Humanis, Berbudaya, Book Lover

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bunga Mawar Ibu

2 Oktober 2021   02:00 Diperbarui: 2 Oktober 2021   02:06 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Paviliun yang ku sewa adalah milik sepasang suami-istri lanjut usia. Mereka berdua sudah kuanggap bagai orang tua sendiri, makanya aku memanggilnya bapak dan ibu.  Bapak pensiunan Dinas Perkebunan dan Ibu pensiunan guru Sekolah Dasar. Mereka tinggal bertiga dengan anak laki-lakinya yang nomer dua di rumah dengan halaman yang cukup luas.  Dua anak laki-laki yang lain sudah hidup masing-masing dengan keluarga kecilnya. 

Bapak dan ibu suka menanam dan merawat bunga. Pada sisi-sisi halaman rumahnya banyak ditanami aneka ragam bunga, termasuk bunga mawar. Halaman di depan paviliun yang ku sewa mereka tanami pokok bunga mawar yang tumbuh bergerombol dan sangat sehat. Sepertinya setiap waktu saja bunga mawar itu kuncup, mekar, lalu gugur dan menghiasi halaman dengan guguran kelopak-kelopaknya. 

Pokok-pokok bunga mawar yang ditanam pada setiap sisi halaman rumah begitu sehatnya. Tak habis-habisnya juga kuncup, mekar dan gugur. beberapa tumbuh merambat pada dinding-dinding pagar rumah. 

Pada mulanya aku tak tertarik dengan kehadiran bunga mawar itu. Namun suatu hari aku menyaksikan bunga mawar yang kemarin kuncup, pada pagi harinya kelopaknya mekar satu. Menurutku itu sangat menakjubkan. Maka sejak saat itu aku rajin mengamati bunga mawar itu dari ia kuncup, mekar satu persatu hingga mekar keseluruhan, layu kemudian gugur. Aku pun akhirnya tertarik untuk mengabadikannya ke dalam lensa kameraku.

Oleh karena itu juga aku jadi rajin ikut merawat pokok-pokok bunga mawar itu. Aku kadang ikut menyiraminya jika bapak dan ibu belum sempat menyiraminya. Ibu sepertinya penyuka dan pengagum bunga mawar. Ia sangat perhatian pada pokok bunga mawar yang ia tanam itu. Kadang ia memetik beberapa bunga mawar yang sedang mekar untuk ia taruh di vas bunga dalam rumah. Jika ada yang meminta bunga mawar untuk keperluan prosesi pemakaman, ibu tak pelit untuk menyilahkan siapapun mengambilnya.

Suatu hari ibu sakit keras dan harus dirawat pada suatu rumah sakit di luar provinsi. Ibu cukup lama dirawat di rumah sakit itu. Ada sekitar dua minggu lebih. Hingga akhirnya ibu meninggal dunia karena sakitnya itu. 

Tetapi ada yang menarik sehari sebelum ibu dikabarkan meninggal dunia. Pada waktu itu hari menjelang senja menuju waktu maghrib tiba. Aku yang sedang di dalam paviliun mendengar suara ramai dari segerombolan perempuan remaja yang berjalan dari arah samping rumah menuju halaman depan paviliun. Ada satu suara yang bilang permisi untuk meminta bunga mawar. Aku sempat mengintip sebentar dari balik pintu. Ku lihat saat itu bayangan banyak orang sedang berada di sekitar pokok bunga mawar. Namun aku tak begitu menghiraukan saat itu karena aku sibuk dengan handphone. AKu juga mendengar suara mereka pergi menjauh dan mengucapkan terima kasih.

Baru ketika sholawat menuju adzan maghrib dan aku akan benar-benar menutup jendela dan pintu, pandanganku teralihkan dengan tandasnya bunga-bunga mawar pada pokoknya. Ku lihat tetangga depan rumah sedang menutup jendela, ku tanya ia "Bu siapa tadi yang barusan mampir dan ambil bunga mawar ? gila nih bunga mawarnya dihabiskan semua tak bersisa."

Ibu tetangga depan rumah menjawab dengan kening berkerut, "dari tadi aku mengobrol di teras rumah dengan tetangga lainnya, baru sebentar kita bubar, gak ada tuh yang mampir ambil bunga mawar."

"Benar bu ? tapi saya dengar orang ramai mampir dan minta bunga mawar," aku bertanya sekali lagi.

"Benar, gak ada. Cuma kami berempat yang dari tadi ngobrol di teras dan gak ada  orang lewat satu pun kok," ujarnya meyakinkanku.

Aku bingung, tapi karena adzan maghrib sudah berkumandang, aku tak meneruskan lagi pertanyaan yang bisa membesar menjadi perdebatan itu. Baik aku dan ibu tetangga depan rumah sama-sama masuk ke dalam rumah. Sehabis sholat aku masih memikirkan siapa gerangan yang meminta bunga mawar tapi tak berperasaan dan menghabiskan seluruh bunga mawar itu. Pikirku akan kutanyakan lagi besok pagi, karena malam hari aku ada kerjaan.

Pagi harinya pun masih kutanyakan perihal gerombolan orang yang mengambil bunga mawar itu. Ibu tetangga depan rumah tetap kekeh tak melihat siapapun mengambil bunga mawar. Bahkan pernyataan ini diperkuat oleh ibu-ibu lainnya yang kemarin sore mengobrol bersamanya. Mereka juga tak melihat siapapun mampir mengambil bunga mawar. Menurut mereka posisi duduk ketika mengobrol itu benar-benar menghadap halaman paviliunku dan tanpa halangan apapun. Saat itu jalanan depan rumah sepi, tak ada satu pun orang yang lewat.

Mereka pun heran dengan habisnya bunga mawar pada pokok-pokoknya yang telah gundul. Namun tak ada yang berani berkomentar. Hanya beberapa yang bilang sambil mengingat betapa banyaknya bunga mawar itu kalau diambil semuanya dan ajaib bisa habis tandas tak bersisa. Peristiwa ini masih menjadi misteri hingga sekarang.

Sejak ibu meninggal dan peristiwa misterius itu, pokok-pokok bunga mawar itu tak mau lagi berbunga. Mereka semua layu dan mati, baik yang di depan paviliun maupun yang ditanam pada sisi halaman lainnya. Padahal bapak sangat berusaha keras merawat pokok-pokok bunga mawar itu. Aku sering memergoki bapak menangis jika menyirami pokok-pokok bunga mawar peninggalan ibu. Bapak selalu berlama-lama di depan pokok-pokok bunga mawar itu.

Suatu hari bapak berdiri di hadapan pokok-pokok  bunga mawar yang ada di depan paviliun. Mereka pokok-pokok bunga mawar yang terakhir layu dan akhirnya mati. Lama sekali bapak menatap dan termangu di hadapannya. 

"Yah... pohon bunga mawarnya mati Ra," ujarnya kepadaku tanpa menoleh. Aku pun menghampirinya dan melihat pokok-pokok bunga mawat itu yang telah menjadi ranting kering dengan beberapa daun yang membusuk. Bapak kemudian pergi begitu saja dengan air muka yang sangat sedih.

Berkali-kali sudah bapak membeli dan menanam pokok mawar  untuk menggantikan pokok mawar yang mati. Namun tak ada yang bertahan dan tumbuh. Selalu saja layu dan mati sebelum sempat bertumbuh betapa pun keras usaha bapak merawatnya dan kadang menitip pesan kepadaku untuk menyiraminya jika ia sedang tak ada di rumah.

Bapak tak putus asa meskipun pokok-pokok mawar yang ia beli dan tanam selalu layu dan mati, ia terus membeli dan menanam serta merawatnya. Begitu terus hingga setahun menjelang hari kematian ibu dan kemudian ia menikah lagi.

Ya, bapak akhirnya menikah lagi setelah setahun ibu meninggal. Meskipun begitu ia tetap membeli dan menanam serta merawat pokok mawar berkali-kali. Dua tahun sudah ia menikah dengan istri barunya, namun tetap saja ia tak berhasil menumbuhkan mawar pada sisi-sisi halaman rumah. Ia tak pernah berputus asa.

Pada tahun ke-tiga hari kematian ibu, segerombol kecil pokok-pokok mawar yang ditanam bapak di depan halaman dapur tumbuh dan berbunga. Tetapi pokok-pokok mawar itu tak secantik dan sehat seperti ketika ibu masih ada. Bapak senang melihatnya. Tiap pagi dan sore ia rajin menyambangi pokok mawar itu. Sampai sekarang hanya pokok mawar itu yang tumbuh dan berbunga. Ia tumbuh kerdil tak merambat dengan bunganya yang kecil-kecil dan sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun