Mohon tunggu...
Suryandari Weni
Suryandari Weni Mohon Tunggu... profesional -

Menulis adalah katarsis jiwa http://perjalananweni66.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Religiusitas dalam Puisi

12 Maret 2014   23:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Religiusitas dalam Puisi

Pengertian religiusitas adalah pengabdian terhadap agama (religi). Religius berarti segala hal yang bersangkut paut dengan religi. Religius dan religiusitas berorientasi pada tindakan penghayatan yang intens terhadap yang Maha Tunggal, yang di Atas, atau Sang Pencipta (Tuhan).

Puisi adalah semacam katarsis kegelisahan yang disampaikan secara indah dalam medium kata-kata, olah kata-kata yang berbisik dalam kalbu (intuisi) dan menghasilkan suara tersendiri dalam menyikapi masalah-masalah yang ada dalam diri dan lingkungan sekitarnya, masalah-masalah tersebut mencakup segala aspek kehidupan, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, alam, maupun dengan sesama manusia pada umumnya. Dengan demikian, religiusitas dalam puisi merupakan penyatuan yang pantas untuk menuliskan keadaan batin dan penghayatan keagamaan dalam medium keindahan berbahasa dengan menggunakan diksi, majas, metrum, metafora yang dipenuhi unsur estetika puisi.Sesungguhnya pembicaraan mengenai religiusitas berkaitan dengan adanya kenyataan merosotnya kualitas penghayatan orang dalam beragama atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang universal dari religi. Jadi, religiusitas merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan seseorang di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran-Nya. Kriteria-kriteria religus dalam sebuah karya sastra yang dikemukakan oleh Saridjo (Jassin, 1972: 60), yakni karya sastra yang menitikberatkan kehidupan agama sebagai pemecahan persoalan. Benarkah demikian?

Perkembangan industri, ekonomi pasar dan daya beli masyarakat turut mempengaruhi minat terhadap kesenian dan kesusasteraan. Namun Octavio Paz (The Other Voice, Komodo Books, 1991) mengajukan pertanyaan: berapa banyak orang membaca buku puisi, siapa saja yang membaca puisi? Apakah masyarakat memiliki keterlibatan terhadap sastra (literally committed)? Pertanyaan semacam ini berhubungan erat dengan segitiga simbiosis antara sastrawan-masyarakat-perubahan sosial. Semakin banyak pembaca atau penikmat sastra, maka diharapkan mampu memberi dampak pada perubahan sosial untuk kemaslahatan umat manusia. Melalui karya sastra, seseorang dapat memperoleh kesenangan dan bermacam-macam pandangan filsafat, agama, serta cara pandang terhadap diri sendiri, orang lain, dan Tuhan.

Perkembangan kesusasteraan Indonesia dari zaman ke zaman, angkatan ke angkatan mengalami banyak metamorfosis. Perubahan terjadi karena suasana sosial dan politik yang membawa kegelisahan individual para penyair di setiap masa. Kita simak saja perkembangan puisi sejak zaman Pujangga Baru, hingga Angkatan 45, bahkan yang terakhir, angkatan 2000 yang disusun oleh Korrie Layun Rampan.Pada angkatan pujangga baru, puisi-puisi yang berkembang lebih bersifak epik, bahkan semangat nasionalisme dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Puisi pada zaman itu lebih bersifat romantik, individual dan memiliki keterkaitan yang erat dengan situasi politik saat itu. Jarang ditemukan puisi-puisi yang bersifat profetik atau religious. Seiring dengan perjalanan sejarah bangsa, para penyair kemudian menganggap bahwa sajak-sajak perjuangan, semangatperlawanan terhadap rezim penjajah atau pemerintahansudah tidak memiliki fungsi berarti. Maka perlahan-lahan, perubahan karya-karya mereka lebih bersifat sufistik dan ketuhanan.

Karya-karya para penyair pada tahun 1920-1930an memiliki keragaman di luar keseragaman yang tidak (sempat) membuat para kritikus atau pengamat mengkotak-kotakkan setiap karya. Dimulai dengan sajak-sajak Hamka – yang dikenal dengan nama pena Abu Zaid -yang memiliki adat Sumatra yang kental “adat basandi sara’, sara’ basandi kitabullah”, maka bagi Hamka, sastrawan yang ulama, atau ulama yang sastrawan, setiap syair hendaknya memiliki nasihat, meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Ajip Rosyidi, seusai berhaji, lebih cenderung menulis sajak-sajak keagamaan dan filsafat. Ada pula J.E Tatengkeng, Sitor Situmorang dengan puisi-puisinya yang mengandung ketuhanan Kristen. Melalui Lajar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana memiliki tendenzz literatuur, karangan yang penuh susila, memperhubungkan antara sosial, kemanusiaan dan nasihat-nasihat tentang moral dan ketuhanan, (Ajip Rosyidi, Puisi Indonesia Modern, Balai Pustaka 1989). Pada umumnya, setiap penyair memiliki kegelisahan tersendiri meski pun bersifat temporer (sewaktu-waktu) dalam proses penciptaannya. Tak jarang di antara ratusan karya mereka, terdapat puisi-puisi ketuhanan. Lalu bagaimana dengan angkatan selanjutnya?

Adalah Abdul Hadi WM, penyair asal Sumenep yang memiliki perjalanan kesusasteraannya sendiri. Puisi-puisi yang diciptakannya pada tahun ’70 an lebih bernuansa religious; keIslaman. Simak saja pada Puisi Mikraj, Muhammad, kutawarkan padamu; jenuh semesta itu…./ diakhiri dengan; …. Marhaban, Kuutus kau/juru selamat (1970)

Sajak-sajaknya yang religius dan bahkan cenderung sufistik jelas terbaca sejak awal kepenyairannya 30 tahun yang lalu. Dalam antologi puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” (November 2012), nampak sekali perkembangan puisi seorang Abdul Hadi WM dari masa ke masa. Puisi sufistikbegitu kental dibahasakan di antaranya melalui puisi al Hallaj, Syeh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Doa Ayub, bahkan Meditasi (bagian 3 dari buku). Pada al Hallaj, beberapa lariknya mengandung makna yang demikian kental. Darah sebagai perlambang pembebasan hakikat manusia (yang setengahnya merupakan sifat hewani), ditulis berulang-kali sebagai penekanan seperti hendak dikeluarkan menjadi sebuah persembahan, atau pengorbanan terhadap penyatuan insan dengan Tuhannya. Simak beberapa larik terakhir, Darah menulis cinta/cinta mengecup darah/darah menyalakan api padam/darah menghancurkan pagar penghalang/ darah/darah/darah/cadar Yang Haq disingkap darah/darah/Allah/Allah. Atau pada puisi Nukilan Dari Lagu Syeh Siti Jenar, Sebab kau dekat dengan Tuhan//Di Ka’bah, di tiang gantungan/Dan di tikar sembahyang// Sebab kau dekat dengan Tuhan. Sapardimenyebut sajak-sajak Abdul Hadi WM sebagai sajak yang remang remang, karena memberi kebebasan bagi imajinasi pembacanya. Sebuah sajak yang buruk, adalah sajak yang kerap menjelas-jelaskan atau memaksa pembacanya untuk mendengarkan dengan pasif untuk menerima setiap pesan yang disampaikan oleh penyairnya, demikian menurut Sapardi.

Pada Meditasi, seluruh agama-agama samawi dimasukkannya dalam penyusunan diksinya yang mengalir deras. Simak pada /aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Syahadatku ialah perubahan terus menerus. Dan kota suciku ialah hati. …/Dst, dilanjutkan dengan pertanyaan pada bagian ke V, /Tuhan, siapakah namamu sebenarnya? Dari manakah asalmu? Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula agamaMu? Manusia begitu ajaib. /Dst. pengembaraannya atas pertanyaan tentang eksistensi Tuhan yang ditulisnya pada tahun 1974.

Mari bandingkan dengan sajak-sajak Zawawi Imron, selain Bulan Tertusuk Lalang yang terkenal, sajak rohaninya di antaranya adalah Zikir (1980); Alif, alif, alif!/Alifmu pedang di tanganku/Susuk di dagingku, kompas di hatiku/Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut/Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan/ pada setiap larik, terbaca kedalaman dan hakikat dasar dimensi ketuhanan, keimanan kepada Tuhan sebagai Alif yang merupakan huruf hijaiyah pertama dalam bahasa Arab (al Qur’an) sebagai wahyu Allah. Alif dipersembahkan kepada pembaca sebagai petunjuk hidup, mampu menegakkan amar ma’ruf, nahi munkar, sebagaimana pesan dakwah dalam agama Islam. Pada Kolam, ketika langit jadi gulita/senandung malam makin mendasar/dari kolam itu tumbuh keikhlasan/mengajarkan sujud yang paling tunjam (1979) secara isi, sajak ini mengandung nasihat tentang peribadatan seorang hamba kepada Tuhannya.

Kini kita beralih kepada sajak-sajak Kyai Mustofa Bisri, selain sajak Ibu yang fenomenal. Pada Atas Nama Tuhan;Ada yang atasnama Tuhan melecehkan Tuhan/Ada yang atasnama negara merampok Negara/Ada yang atasnama rakyat menindas rakyat/Ada yang atasnama kemanusiaan memangsa manusia// dst, diakhiri dengan /Atau atas namaKu, perangilah mereka!/Dengan kasih sayang!// lebih berjiwa protes dan agitasi atas penindasan terhadap rakyat.

Bandingkan dengan sajak Taufik Ismail dalam Nasehat-nasehat Kecil Orang Tua pada Anaknya Berangkat Dewasa; ….Jika adalah orang yang harus kau agungkan/Ialah Rasul Tuhan/Jika adalah kesempatan memilih mati/ Ialah syahid di jalan illahi. Taufik Ismail menerjemahkan penghayatan keagamaannya melalui puisi yang menempatkan “kau” kepada pembaca sebagai yang patut diberi nasihat. Sedangkan selain sajak Dengan Puisi Aku, “Mengenang Keabadian Yang Akan Datang”,yang merupakan renungan tentang kematian (alam barzakh) yang menempatkan “aku” lirik dalam hakikat pengembaraan dimensi penghambaan kepada Tuhan dan alam akhirat.

Jika kriteria-kriteria religus dalam sebuah karya sastra yang dikemukakan oleh Saridjo (Jassin, 1972: 60), yakni karya sastra yang menitikberatkan kehidupan agama sebagai pemecahan persoalan atau Sutan Takdir; sebagai tendenzz literatuur, karangan yang penuh susila, atau JE Tatengkeng; seni sebagai gerakan sukma dengan sajak ketuhanan Kristen, atau Abu Zaky (Buya Hamka), sebagai ulama yang sastrawan dan sepanjang karyanya kental dengan religiusitas, kini pertanyaannya kembali pada paragraf awal tulisan ini, Octavio Paz; Berapa banyak orang yang membaca puisi? Berapa banyak orang yang membaca puisi religius? Seberapa jauh resonansi puisi-puisi religius sebagai media dakwah dalam mengentaskan kemerosotan moral? Atau jangan-jangan sastra religius hanyalah merupakan pemuasan dahaga sastra bagi kalangan sastrawan atau kritikus sastra untuk dijadikan objekpembahasan, atau sekadar merupakan buah pikir kegelisahan pribadi seorang penyair yang lebih menempuh jalan sunyi. Lantas oleh karena itu “belum tentu” bisa dijadikan sebagai pemecah persoalan moral bangsa. Wallahua’lam bisshawab.

9 Februari 2014

Penulis,

Weni Suryandari

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun