"Ya But, kau tak salah dengar, Fakultas Kedokteran"
"Berarti lulusnya nanti jadi dokter, Dinah?"
"Jadi dokter But."
...
"Sebentar-sebentar, aku mau bertanya. Apakah kau ini Dinah? Mardinah binti Mardikah?"
"Ya, But, aku ini Mardinah binti Mardikah"
"Bagaimana mungkin, Dinah? Kau yang dulu suka dihukum berdiri di depan kelas oleh Ibu Desi karena kali-perkalian saja tak becus, bisa punya anak secerdas itu?"
Dari kutipan diatas kita dapat melihat bagaimana latar belakang Dinah dan kesepuluh temannya pun tidak percaya jika Aini, anak sulung Dinah dapat di terima di Fakultas Kedokteran di Universitas ternama pula. Karena kesepuluh kawan ini bukanlah orang-orang yang kaya lagi cerdas, yang jika dihadapkan dengan perkalian, akan selalu melakukan mengeheningkan cipta.
 Kesepuluh kawan itu merasa bangga dengan temannya memiliki anak yang cerdas. Namun, karena pekerjaan Dinah seorang penjual mainan yang tidak memiliki penghasilan seberapa itu membuat Dinah bingung harus mencari uang kemana, mengingat biaya masuk Kedokteran tidaklah murah. Hingga kesepuluh kawan itu memiliki ide utnuk merampok bank di siang hari.
Dari kisah diatas dengan permasalahan sosial dan fakta sosial yang muncul dalam novel sesuai dengan kenyataan. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai jurusan kedokteran memanglah memakan biaya yang banyak dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menjamah jurusan tersebut. Persepsi-persepsi seperti ini membuat masyarakat pun enggan bahkan mundur lebih cepat jika sang anak ingin mengambil jurusan kedokteran.
Demikian resensi novel "Orang-orang Biasa" karya Andrea Hirata. Kita bisa membaca karya-karya beliau, yang tidak kalah kompleksnya permasalahan yang diangkat dalam karyanya. Selamat membaca teman-teman.