Dari 11 saksi yang dihadirkan jaksa, sembilan hanya melihat pemasangan patok. Tak ada yang mengenal dua terdakwa. Bahkan saksi utama berasal dari POS dan kepolisian. Sementara saksi dan ahli dari pihak WKM tidak pernah diperiksa dalam penyidikan. "Ini perkara tambang yang dipelintir jadi pidana kehutanan. Ada orang kuat yang bermain. Intinya, yang salah dibiarkan lolos, sementara yang benar dikriminalisasi," ujar Kaligis lagi.
Di akhir persidangan, Kaligis mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk mengawasi. Menurutnya, ada indikasi kerugian negara yang justru lahir dari aktivitas POS. "PT Position yang ambil untuk kepentingan sendiri. Negara pasti dirugikan kalau begitu," ujarnya.
Di sisi lain, publik menelisik siapa sebenarnya POS. Mayoritas sahamnya dikuasai PT Tanito Harum Nickel, bagian dari Harum Energy milik taipan Kiki Barki---salah satu orang terkaya Indonesia versi Forbes. Nama mantan Jaksa Agung Basrief Arief tercatat sebagai komisaris. Dengan struktur seperti ini, dugaan pun menguat: keberanian mereka membuka jalan dan mengeruk ore tanpa izin lahir dari jejaring modal, hukum, dan politik yang kuat.
Investigasi Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) menambahkan lapisan kecurigaan. Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, menyebut POS telah melakukan tindak pidana kehutanan dan Minerba. Ia menegaskan, "Yang melakukan kejahatan kehutanan seharusnya PT Position. Tapi yang dijadikan tersangka malah karyawan PT WKM. Ini jelas kriminalisasi hukum," kata Yusri.
Dari Halmahera hingga ruang sidang Jakarta, benang merahnya sama: sebuah jalan yang lahir tiba-tiba, dipakai mengangkut ore, meninggalkan kerusakan ekologis, dan menimbulkan kejanggalan hukum.
Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya awal Agustus 2025 menyebut akan menertibkan lebih dari seribu tambang ilegal, termasuk di Halmahera Timur. Pidato itu memberi harapan, tapi juga mengundang pertanyaan: apakah negara berani menindak perusahaan yang punya jejaring kuat?
Di Halmahera, jalan hutan memang tidak pernah netral. Ia bisa jadi urat nadi ekonomi, tapi juga luka ekologis. Dalam sengketa WKM vs POS, jalan itu menjelma simbol kerakusan. Montesquieu pernah menulis: "Di mana pun ada kekuasaan, di situ ada potensi penyalahgunaan." Kalimat itu kini bergema, bukan di ruang filsafat, melainkan di Sungai Sangaji yang keruh, di desa-desa yang kehilangan air, dan di ruang sidang Jakarta yang riuh oleh suara seorang pengacara tua bernama Otto Cornelis Kaligis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI